Sudah satu bulan ditambah dua minggu libur semester satu, aku tidak berani ke sekolah. Membayangkan sekolah di kepalaku serasa berada di kapal dalam badai laut yang hebat. Gara-gara dia, sekolah menjadi tempat yang menyeramkan seperti kuburan. Gara-gara dia aku positif mengidap penyakit depresi. Gara-gara dia aku benar-benar merasa hancur.
"Rafi ada yang mencarimu" itu suara ibu. Serak namun kerasnya minta ampun. Suara itu membuatku melakukan hal yang sebenarnya sering aku malas melakukannya. Aku segera keluar kamar. Untuk menemui seseorang yang sedang mencariku. Mungkin orang dari sekolah yang juga sahabatku sendiri. Dia lah yang membantuku untuk mendapatkan informasi dari sekolah.
Tinggal sedetik lagi tanganku menyentuh gagang pintu itu tapi aku menggagalkannya. Aku mencium bau yang membuatku merasa ingin kembali ke kamar dan mengurung diri. Sebenarnya bau yang aku cium itu wangi. Wangi yang cenderung manis dan segar. Tapi kenapa wangi itu datang membawa orang yang aku benci. Pintu berhasil aku buka dan seseorang yang mencariku sedang tersenyum disana. Orang yang berdiri disana adalah orang yang aku benci. Ia orang yang membuatku takut kepada sekolah. Dia yang membuatku depresi sampai trauma. Dia orang yang aku harap segera lenyap dari dunia ini.
Kalau bukan suara serak ibu yang menyuruhku untuk membawa dia yang aku benci masuk, aku ingin langsung mengusirnya. Dan sebelum itu terjadi aku harap bisa memaki-makinya dengan puas. Dia aku bawa ke kamar. Dulu dia pernah ke kamarku. Setelah sampai di kamar ia langsung duduk dan memainkan jari-jari di tangannya. Aku merasa sikapnya yang biasa itu menjadi tidak sopan. Sekarang ia berulah seperti seorang ahli piano yang sedang bersiap-siap untuk memainkan musik. Jika aku terlahir sebagai cowok yang tegas, aku akan langsung membentaknya. Aku ingin dia merasakan kemarahanku selama ini.
Setelah puas melipat kesepuluh jari tangannya ia pun mengeluarkan suara. Meskipun sudah SMA, dan sepenuhnya cowok, dia memiliki suara seperti anak SD.
"Satu bulan. Sudah satu bulan kau tidak memberiku kabar Rafi. Kau juga tidak pernah membalas sms dan mengangkat panggilanku," serunya dengan nada riang. Padahal aku yakin dia bermaksud marah. Aku berharap dia marah sekarang juga supaya aku bisa segera membentaknya. Aku ingin sekali membalasnya dengan nada suara yang lebih tinggi. Tapi karena suatu perasaan aneh, aku pun memberi jawaban dengan santai.
"Cepat minum tehnya dan buruan pergi". Mendengarku menjawab seperti itu, tiba-tiba saja ia kembali tersenyum. Ini adalah pertama kalinya aku bicara dengannya setelah satu bulan tidak bertemu.
"Eh, kok cuma minum?. Padahal aku mau minta makan juga. Hehe"
"Mino!" gawat aku menahan emosi terlalu banyak. Sehingga akhirnya aku bisa membentaknya meski harus dengan menyebut namanya. Jujur aku senang sekali membentaknya tapi kenapa namanya juga harus keluar dari mulutku. Kenapa tidak kata-kata kasar saja. Aku ingin memaki-maki dia dengan kata-kata kasar. Tapi senyumnya itu memberikan perasaan aneh.
Mendengarku memanggil namanya. Dia pun menambah tingkat senyum. Bila ku gambarkan senyumnya sekarang berhasil menyamai senyum Spongebob ketika Squidward mau bermain dengannya. Mino memang selalu tersenyum. Senyum Mino membuatku menyesal telah membentaknya barusan.
Mino adalah orang yang ingin aku jauhi setelah aku kembali ke sekolah nanti. Dia adalah temanku. Tapi aku tidak ingin menjadi temannya lagi. Sudah satu bulan aku tidak mengobrol dengannya, membalas smsnya, mengangkat teleponnya, bahkan menyapanya. Mino orangnya santai dan cenderung blak-blakan, meskipun tidak terlalu terbuka. Soal kisah pribadinya, ia pernah bilang kedua orangtuanya sudah meninggal dan kini ia tinggal bersama paman yang merupakan seorang pengusaha buah yang sering berpindah. Sebenarnya setengah tahun yang lalu Mino adalah murid baru yang pemalu dan tidak banyak bicara. Tapi ia kemudian menjadi murid terpintar satu sekolah, mengalahkanku yang sebelumnya selalu juara. Itulah yang membuatku kesal kepadanya. Aku tidak membencinya tapi aku membenci kejeniusannya. Aku dengar akhir-akhir ini dia sering bolos sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Terbaik (Cerpen Sedih)
Short StoryAku membencinya. Berharap dia segera lenyap dari dunia ini. Tapi, dia sama sekali tidak membenciku dan malah menganggapku teman yang baik. Dibandingkan dengan kedua teman akrabku, Mino adalah teman yang paling baik. Dia teman terbaikku. (Dipublikasi...