.
.
.
Tanpa kami tahu, ternyata Mino mempunyai teman rahasia.
.
.
.
Satu bulan setelah kepergian Mino, Paman yang merawat Mino mengundang kami untuk makan malam di rumahnya. Ini akan menjadi hari terakhir kami berkunjung ke rumah Mino, karena Paman dan Bibi akan segera pindah. Seharusnya mereka pergi bersama Mino. Tapi. Mino lebih memilih untuk pergi lebih dulu. Mungkin Mino tidak ingin jauh dari kami.
Aku, Angga, dan Lena mengobrol bersama Paman dan Bibi. Di ruang tamu dengan kursi kayu sederhana. Membicarakan tentang kegiatan sekolah dan cita-cita kami. Obrolan yang selalu ingin orang tua tanyakan kepada anak muda keluar dari bibir Paman dan Bibi yang mulai menua. Sebenarnya, mereka berdua sedang melampiaskan kerinduan kepada Mino menggunakan pertanyaan-pertanyaan itu.
Dulu ruang tamu ini merupakan markas kami ketika bermain ke rumah Mino. Semua kegiatan yang pernah kami lakukan bersama Mino di ruangan ini kembali terlihat. Menjelma menjadi bayangan kenangan di masing-masing mata kami. Kami sama-sama melihat Mino lagi di ruangan ini.
Aku melihat Mino datang dari arah dapur membawa semangkuk buah dengan langkah kaki yang konyol. Angga melihat Mino duduk di kursi, menawarinya buah rambutan. Lena melihat Mino tersenyum malu sambil menggaruk kepala dengan usil. Iba-tiba Paman mencoba mengajak bicara tentang musim kemarau yang tidak kunjung kehadiran Untuk mengalihkan kami dari kenangan-kenangan bersama Mino. Paman dan Bibi juga sedang menahan kesedihan mereka sendiri.
Rumah Paman dan Bibi akan dirobohkan dan akan diganti dengan supermarket seorang pejabat. Paman dan Bibi akan pindah ke luar pulau bersama buah-buahan yang tersisa. Karena akan pindah ke luar pulau, Paman dan Bibi berpesan kepada kami untuk sesekali menjenguk makam Mino. Tanpa disuruh pun aku akan melakukannya. Aku menatap Angga dan Lena. Wajah mereka berdua terlihat mantab sama sepertiku.
Saat kami berpamitan pulang, Paman tiba-tiba menarik lenganku. Membuat kakiku kembali berjalan mundur beberapa langkah. Paman menempelkan sebuah buku catatan kecil ke telapak tanganku. Buku itu berwarna kuning, bergambar kartun Spongebob. Kartun kesukaan Mino.
"Buku ini adalah teman rahasia, Mino. Mino sering menulis semua rahasianya di buku ini" kata Paman dengan lirih. Bibi mendekati Paman dan sedikit memberikan elusan di kedua pundak Paman yang mulai bergetar. Aku segera menerimanya dan berterima kasih. Paman menyaksikan aku berjalan terburu-buru menyusul Angga dan Lena sambil mengusap kedua pipi yang mulsi basah.
Angga dan Lena mampir ke rumahku. Aku menggunakan kesempatan itu untuk memberitahukan kepada mereka tentang teman rahasia Mino. Mino mempunyai teman rahasia dan itu adalah sebuah buku catatan kecil. Kata Lena, buku itu mirip buku diary. Saking penasarannya, aku segera membuka dan membacanya. Membaca beberapa paragraf kakiku menjadi lemas. Melihatku hampir ambruk, Angga dan Lena membantuku untuk duduk.
Halo buku harian
Setelah sekian lama, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Terakhir kali kita bertemu adalah saat ayah dan ibu meninggal dan aku di-bully teman-teman setengah tahun yang lalu. Ketika pindah dan diadopsi Paman dan Bibi, aku mendapatkan tiga teman baru. Rafi, Angga dan Lena. Gara-gara mereka aku jadi sangat bahagia dan melupakanmu. Sekarang aku membutuhkanmu lagi. Aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa lagi.
Aku tidak punya teman lagi sekarang. Sudah beberapa minggu ini Rafi, Angga, dan Lena menjauhiku. Rafi sangat kesakitan karena tidak juara umum. Angga marah kepadaku karena Lena menyukaiku. Lena membenciku karena aku memutuskan perasaan cintanya. Butuh beberapa minggu sampai aku benar-benar menyadari semuanya. Semua yang terjadi adalah kesalahanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Terbaik (Cerpen Sedih)
Short StoryAku membencinya. Berharap dia segera lenyap dari dunia ini. Tapi, dia sama sekali tidak membenciku dan malah menganggapku teman yang baik. Dibandingkan dengan kedua teman akrabku, Mino adalah teman yang paling baik. Dia teman terbaikku. (Dipublikasi...