Sungguh, suatu keberuntungan bisa mengenalnya walau terkadang merasa jengkel, sebal, atau kesal karena ulahnya. Dia adalah orang pertama -setelah keluarga- yang jadi penyemangat dalam hidupku. Dia juga yang memaksaku untuk merubah diri jadi pribadi yang lebih baik lagi. Dari cuek terhadap penampilan, sedikit demi sedikit menambahkan make up. Dari 'semau gue' jadi memperhatikan omongan orang lain.
Namanya Akayuda Tunggal Dewa. Biasa kupanggil Mas Dewa. Sebelum mengenalnya, kupikir dia adalah lelaki yang sangat angkuh, sok ganteng, dan sok pintar. Mungkin karena dia berasal dari keluarga yang kaya, secara sebagian besar orang tuanya lah yang menanam saham di sekolah ini. Dia sering bawa mobil mewah ke sekolah, memamerkan jam tangan yang-katanya-didapat dari saudaranya di Swiss. Belum lagi, memamerkan hasil ulangannya di papan mading. Ah, betapa menyebalkan!
Namun, penilaianku itu terpatahkan ketika pihak sekolah menunjuk kami berdua sebagai duta sekolah untuk mengikuti olimpiade sains di Jakarta. Tak khayal lagi-mau ga mau-kami harus sering bertemu untuk belajar bersama. Awalnya, aku merasa risih dengan kebersamaan kami ini. Lama kelamaan, ada rasa nyaman bila berada di dekatnya dan percikan-percikan api asmara mulai membakar jiwa. Kini, aku-Deswita Maharani-mengakui bahwa pesonanya telah menawan hati. Begitupun sebaliknya. Ya, kini rivalku adalah kekasihku.