Semenjak tiga bulan terkahir, mengunjungi pusat kota selepas matahari terbenam telah menjadi rutinitas rutinku setiap harinya.
Seperti hari-hari sebelumnya, kali ini aku akan pergi ke sana lagi. Segera ku kenakan hoodie abu-abu favoritku karena cuaca hari ini lebih dingin dari biasanya. Sebab menjelang pergantian musim, cuaca belakangan hari ini memang selalu berubah-ubah seperti mood anak remaja.
Seusai memastikan semua jendela dan pintu terkunci aku mulai melangkahkan kakiku menuju pusat kota yang letaknya tidak begitu jauh dari rumahku. Hanya berjarak beberapa blok saja sehingga masih dapat ku tempuh dengan berjalan kaki.
Kala menuju pusat kota aku selalu melewati rute favoritku. Pertama, aku belok ke kanan di perempatan sana untuk melihat rumah dia yang seperti biasa tertutup rapat dan selalu diterangi satu cahaya lampu luar. Walaupun berada di luar pekarangannya, aku tetap bisa mendengar senda gurau penghuninya yang sedang menyantap hidangan makan malam. Lalu lanjut berjalan melewati jalan setapak di taman dekat komplek hingga akhirnya berakhir di trotoar depan toko-toko yang ramai.
Entah sudah tak terhitung banyaknya aku melewati jalan ini. Mengamati para pedagang makanan yang sibuk mengambil pesanan pelanggan, mengamati setiap kaca toko dengan berbagai macam benda yang dijualnya, menyadari jika ada benda yang baru dipajang ataupun benda yang sudah tiga bulan terakhir ini mendekap di sana.
Sebenarnya semua ini adalah bagian dari rutinitas yang aku lakukan saat jumat malam bersama mantan kekasihku, Byounggon. Namun semenjak kami berpisah tiga bulan lalu, ini menjadi rutinitas sehari-hariku.
Mengapa?
Karena aku tahu dia selalu ada di sana.
Aku mendorong pintu cafe yang memberikan suara dentingan lonceng setiap kali ada yang mendorong atau menariknya. Aku segera masuk ke dalam untuk menghangatkan badan.
Pelayan cafe laki-laki dengan apron hitam itu menyadari kedatanganku lalu menyapaku hangat. Ia segera kembali ke posisinya di belakang meja kasir.
"Seperti biasa, secangkir cappucinno panas?" tanya Hyunsuk.
Aku mengangguk sambil memberikan beberapa lembar uang padanya. Karena sudah setiap hari kemari, pelayan itu pun sudah sangat hafal dengan apa yang ingin aku pesan.
Aku segera mengambil posisi favoritku di pinggir jendela kaca depan cafe. Aku duduk merebah dan mengusap telapak tangaku sesekali.
"Ini kopinya," ucap Hyunsuk ramah.
"Terima kasih, Hyunsuk." ucapku menimpali.
"Anytime." Hyunsuk pun kembali dan meninggalkanku sendiri menikmati kopi ini.
Sambil sesekali menyesap kopi-ku, aku mengamatinya dari balik jendela kaca cafe yang biasa kami kunjungi di akhir pekan. Dia duduk di kursi panjang dekat playground yang hanya diterangi satu buah lampu taman. Walaupun begitu, aku masih dapat melihat sosoknya dengan jelas.
Sosoknya yang tampan, tinggi tegap dengan bahu lebarnya, tempat di mana aku sering menyandarkan tubuhku di sana. Lalu rambut hitam legam lurus yang tidak pernah ia warnai sejak ia dilahirkan. Serta lesung pipi yang muncul saat ia tersenyum.
Jujur aku merindukannya.
Mungkin untuk sebagian orang, apa yang aku lakukan ini aneh. Ya memang, aku pun tidak akan membantahnya.
Sebut saja aku aneh. Sebut saja aku penguntit. Sebut saja aku perempuan malang yang belum bisa melupakan mantan kekasihnya. Terserah. Aku tidak peduli. Tujuanku di sini hanya untuk memastikannya tetap hidup.
Selama tiga bulan terakhir ini aku berhasil merangkum dua siklus yang biasa dilakukan Byounggon saat sedang berada di pusat kota :
Duduk di kursi panjang - mengeluarkan ponselnya - menggunakan earphone - memejamkan mata - terhanyut dalam dunianya sendiri - pulang.
Atau
Duduk di kursi panjang - mengeluarkan notes kecil - memandang satu titik entah di mana - menulis - kembali terhanyut dalam dunianya sendiri - pulang.
Siklus itu biasanya berlangsung kurang lebih selama dua jam.
Namun hari ini dia tidak melakukan keduanya.
Sejak datang dan duduk di kursi itu dia hanya duduk, sesekali merebah atau menunduk. Beberapa kali memejamkan matanya selama kurang lebih satu menit.
Aku tahu dia lelah. Aku tahu hari-hari nya terasa berat. Aku tahu itu pasti sangat menyiksanya.
Kedua tangannya berada di dalam saku hoodie. Tidak pernah ia keluarkan sejak datang. Aku bisa merasakan jari-jarinya bermain di sana, entah apa yang sedang ia pegang. Aku sempat berpikir itu tabung kecil tempat pil-pil yang menjaganya tetap waras berada. Namun sepertinya tidak mungkin ia membawanya ke sana.
Kulihat jam yang tergantung di dinding dekat kasir berbunyi. Mengeluarkan suara nyanyian yang unik serta burung coklat kecil yang melompat keluar dari jendela tempat ia bersembunyi selama 59 menit terakhir.
Sudah tepat satu jam sejak aku duduk di sini memperhatikannya. Aku beranjak melangkahkan kakiku menuju kasir dan memesan cangkir kedua.
Sambil menunggu cangkir kedua ku siap disajikan, aku kembali duduk di kursiku. Mataku tak bisa berpaling memperhatikannya.
Aku memejamkan mataku sejenak. Memutar kembali memori kala aku dan Byounggon masih bersama. Kami berjalan-jalan di pusat kota. Tangan kami bertautan, senyum kami mengembang. Matanya yang indah terlihat semakin indah kala cahaya gemerlap lampu di sana terpantul di bola matanya yang jernih.
Bahkan aku merasa bisa melihat indahnya dunia hanya dari menatap matanya.
"Kamu tahu ada begitu banyak keindahan ketika matamu terbenam di semua lampu kota, Byounggon?"
"Tidak."
Aku tersenyum mendengar jawabannya yang sederhana itu. Tentu saja dia tidak tahu karena dia bahkan tidak bisa melihatnya.
Tapi aku bisa melihatnya, Byounggon. Dan aku menyukainya. Sangat.
Aku tersadar dari lamunanku saat Hyunsuk meletakkan cangkir keduaku di meja. Aku tersenyum padanya tepat setelah mengucapkan terima kasih.
Kusesap kopiku perlahan. Merasakan sensasi panasnya mengalir di tenggorokan dan membuatku merasa hangat.
Ingin sekali rasanya ku berikan secangkir kopi ini pada laki-laki yang tengah duduk di sana, agar dia juga ikut merasakan kehangatan. Lalu akan ku dekap tubuhnya dan mengatakan kalau dia luar biasa. Kalau hidupnya sangatlah berharga. Kalau keluarganya sangat menyayanginya. Kalau aku akan selalu berada di sampingnya. Kalau ia pasti mampu menghadapi semua kesulitannya. Karena aku yakin dia orang yang luar biasa kuat.
Namun sayangnya, aku tidak bisa melakukannya.
Semuanya telah berakhir tepat saat kudengar satu bunyi yang cukup memekakkan telinga.
Dor.
Suara teriakan histeris orang-orang memekakkan telinga. Cangkirku jatuh, pecah di lantai. Puluhan orang mengerubunginya. Para pengendara memberhentikan laju kendaraannya. Dan waktu terasa mati sejenak.
Satu peluru perak itu menembus kepalanya. Meninggalkan tubuhnya terkulai lemas di atas tanah yang dibanjiri genangan merah.
***
a.nAkhirnya one shot ini selesai juga. Ini cerita pertama yang aku tulis setelah hiatus yang panjangggg.
Tolong vote, komen, tanggapan serta sarannya ya. Terima kasih buat yang udah baca💜
KAMU SEDANG MEMBACA
City Lights ー Lee Byounggon
Cerita Pendek"Kamu tahu ada begitu banyak keindahan ketika matamu terbenam di semua lampu kota, Byounggon?" ©artefak , 2019