Bagian 2

228 22 13
                                    

Cuaca di pagi ini tidak sedingin kemarin, aku yang sebenarnya terlanjur bangun lebih awal, ini karena eomma ku. Eommaku sengaja membangunkanku lebih awal karena appaku hari ini ada dinas di luar kota Seoul, biasanya memang seperti itu, kalau appa dinas keluar kota, sudah pasti aku dibangunkan lebih awal agar kami bisa sarapan bersama, ya walaupun setiap harinya sarapan bersama sih.

Mataku belum seutuhnya terbuka, ku raih sendok yang berada di atas meja makan lalu hanya memegangnya saja. Jujur, aku masih terkantuk bangun sepagi ini, uh- sebenarnya salahku sih yang tidur lebih larut malam.

Oh-!

Bukan, sebenarnya bukan salahku! Ini salah Lee Jeno yang kemarin siang menunjukkan senyumannya itu, senyuman yang membuatku berpikir keras, senyuman yang membuatku bingung. Senyuman yang susah diartikan.

"Sayang, ayo dimakan nanti keburu dingin lho sup nya." Eommaku mengusap sayang kepalaku.

Aku berusaha memaksimalkan pandanganku kearah makanan yang sudah tertata di meja makan.

"Hari ini kamu tidur jam berapa,hm?" Itu appaku, dia tidak melihatku namun masih asyik dengan segelas kopinya.

"Uh, jam 12 mungkin?" Aku memulai mengaduk-aduk sup.

"Kamu main game lagi ya? Udah eomma bilang kan kalau main game-nya dikurangi dulu, kamu udah kelas 3 lho Jaemin, jangan sampai kedepannya kamu nyesel." Belum aku memakan sup ku, eomma ku sudah mencubit pelan pipiku.

"A-ah, appo, eomma." Aku mengusap pipiku yang sebenarnya tidak merasa sakit.

"Aku enggak bermain game kok, hanya saja susah tidur. Mungkin banyak yang aku pikirkan semalam."

"Memangnya anak appa mikirin apa,sih?" Kini kopi itu bukan menjadi fokus appa lagi, dirinya menatap diriku dengan penuh tanda tanya.

"Bu-bukan apa-apa,appa. Selamat makan, eomma, selamat makan appa!" Aku mencoba untuk menutupi rasa penasaran yang sudah timbul di pikiran kedua orangtuaku saat ini.

**

Aku bergumam pelan, sesekali mengumpat. Rasanya kesal sekali di pagi yang seharusnya hanya-orang -orang -rajin- seperti- ketua kelas atau siswa yang piket datang di jam ini, sementara aku sudah berada di depan gerbang sekolah. Aku cukup terkejut dengan kehadiran si botak, maksudku, Kyungsoo songsaengnim yang sudah berdiri memegang penggaris kayu dan map yang suka dia bawa setiap harinya, aku bertaruh map itu adalah kumpulan nama-nama siswa yang sering terlambat masuk atau siswa-siswa yang sering membuat masalah di sekolah ini.

Aku membungkukkan badanku 90 derajat kearah Kyungsoo songsaengnim, dia membalasnya dengan anggukan. Belum jauh aku dari hadapannya, dia memanggilku.

"Hei kau, Na Jaemin."

Demi Tuhan bulu kudukku langsung terbangun.

"Ne, Kyungsoo songsaengnim?"

"Akhir-akhir ini kasus bully meningkat kembali di beberapa sekolah dan mungkin saja beberapa murid disini juga terlibat kasus bully, ku dengar dari beberapa guru dari sekolah lain mengatakan bahwa mereka korban bully biasanya tidak berani untuk melapor pada guru. Apa kamu pernah atau saat ini menjadi korbang bully? Atau..sebenarnya kamu pernah atau sedang membully seseorang?"

Sebenarnya, nada bicara Kyungsoo songsaengnim ini biasa saja, tidak membuatku takut sama sekali. Tapi, tatapan matanya, matanya yang sangat bulat, diatas rata-rata mata orang Korea membuatku seolah adalah manusia yang paling bersalah di dunia.

"Ah, aku tidak, Pak. Aku tidak pernah menjadi korban bully maupun pelaku bully."

"Begitukah?"

The Four Leaf Clover in YouWhere stories live. Discover now