3. Si Little Boy

4 1 0
                                    

"Ini beneran rumahnya?" tanya Asta terhitung lima kali dan di jawab dengan anggukan kepala oleh Risa.

Sudah 15 menit lalu mereka sampai di depan gerbang sebuah rumah. Anggap saja mereka adalah rakyat yang benar – benar jelata berada di depan istana.

"Mbak seumur – umur baru ini gue lihat gerbangnya saja sudah tinggi dan besar kayak kastil yang di film – film" sahut Risa dengan muka terpukau

"Iya padahal rumah lo sudah gedong saja muka lo mupeng, apalagi gue yang jelata ini, malah gak bisa dijelasin" balas Asta celingukan.

"Mbak kita harus sadar mbak, kita gak boleh kampungan, kita harus berwibawa, walaupun sulit mari kita semangat, sebagai pendidik yang berwibawa, tapi sebelum itu belnya sebelah mana ya mbak?" tanya Risa yang kemudian membuat Asta tergagap segera sadar,.

Mereka pun akhirnya sibuk mencari sebuah bel di gerbang yang menjualng tibggi itu. Setelah hampir 3 menit berlalu akhirnya mereka sadar letak bel yang jelas letaknya ternyata di sebelah kanan Asta, sambari gerakan menepuk jidat mereka masing – masing, akhirnya mereka menekan bel tersebut dan tersambung oleh security yang memperbolehkan mereka masuk setelah menjelaskan bahwa mereka adalah guru BK dari sekolahan Ibra.

Gerbang yang otomatis terbuka tersebut menampilkan halaman rumah yang luas dan bisa di pakai bermain sepak bola mungkin, itu yang terpikir oleh Asta dan ternyata sama dengan pemikiran Risa.

"Nanti ibu langsung saja menuju ke pintu utama, disana sudah ada mbok yem yang menunggu ibu" jelas satpat tersebut yang diangguki oleh Risa dan Asta dan mereka mengucapkan terima kasih sebelum melajukan mobil mereka kembali menuju pintu uatama.

"Mari bu, masuk" sambut wanita paruh baya yang disebut mbok Yem oleh satpam tadi. Asta dan Risa masih mengekori langkah mbok Yem masuk kedalam rumah, dan makin masuk kedalam sampailah mereka pada suatu ruangan yang mereka duga adalah ruang bersantai atau ruang TV, karena mereka telah duduk di sofa dimana di depannya terdapat satu set lengkap home theatre. Setelah mereka duduk dan mbok Yem pamit sebentar kebelakang barulah nyawa mereka seolah kembali.

"Gila mbak ini gila, rumah gede gini, lihat nih ruangan ini, sumpah ini yang punya rumah duitnya seberapa ya, lo tadi lihat ruang tamu yang kita lewati mbak, ini beneran tajir sembilan turunan nih, si Ibra" jerit Risa tertahan dengan gerakan mencubiti tangan Asta yang kemudian Asta balas menggeplak tangan Risa dengan keras.

"Sakit tahu mbak, kira – kira kali mbak" balas Risa sewot. Menghentikan gerakan tangannya.

"Nah itu tau, gue juga sakit, lo kira gue adonan cilok, dicubit – cubit" balas Asta tak kalah sewot.

"Ya udah seri kita nih" ucap Risa yang diangguki Asta.

"Mbak lo gak mau nikah sama tuh bapaknya si Ibra, kaya gini" ucap Risa di jawab gelengan tegas oleh Asta.

"Lah hidup lo bakalan enak loh" bujuk Risa

"Buat lo saja, gue mah ogah, yang penting gue cukup saja, gue gak mau dapat duda, enak saja gue mah ori masak dapat second, ogah banget" jawab Asta malas.

"Gue sudah punya tunangan mbak" balas Risa mengingatkan

"Nah itu tau, lo aja gak mau, kok ditawarin ke orang, lagian menurut gue aneh saja ini keluarga, emang sih kaya pakai raya, tapi apa lo gak nyadar Ri, dari awal kita masuk sampai ke ruangan ini, tuh, gak ada satu fotopu terpampang, biasanya kan kalau dirumah kan sedikitnya pasti adalah satu foto keluarga gitu" kata Asta yang masih mengamati zona sekitarnya.

Setuju dengan omongan Asta, Risa pun terhenyak sadar, kemudian dengan cepat mengamati seluruh penjuru ruangan yang ternyata dinding bahkan di buffet dalam ruangan ini kosong, polos, bahkan dia juga mengingat kembali setiap ruangan yang tadi dilewati, memang hanya ada dinding polos dan meja pajangan kosong.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 20, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mantu KeduaWhere stories live. Discover now