5 - Isi Surat

2.5K 165 16
                                    

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik pula.

-Q.S A- Nur : 26-


ALYA membongkar semua isi dalam lemari bukunya. Ia juga membuka satu persatu buku yang ada di sana, mencari sebuah kertas yang berisikan ungkapan hatinya. Tapi, hasilnya nihil. Alya tak mendapatkan kertas tersebut.

Ia menggigit bibir bawahnya, matanya menerawang setiap sudut kamar berharap mengingat di mana terakhir kali ia menyimpan kertas itu.

"Aku gak mungkin salah, pasti ada di novel ini," gumamnya sembari membolak-balik tiap lembar novel yang terakhir kali di bawa. Alya membuang napas pelan, sungguh ia sangat ceroboh. Kertas itu ungkapan hatinya, bagaimana jika ada orang lain yang membaca. Alya sama sekali tidak bisa memikirkan kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Segala kejadian hari ini terlintas di pikirannya, ia coba mengingat kembali di mana saja ia meletakkan novel itu. Dan, kejadian di perpustakaan lah yang berhasil menarik perhatiannya.

"Apa cowok itu yang ngambil?" gumamnya. Tidak, Alya tidak menuduh. Ia hanya bertanya pada dirinya sendiri tak ada niatan menuduh.

Ketika otaknya sibuk berpikir sambil terus mebayangkan wajah cowok itu, tiba-tiba saja Alya teringat sosok cowok dan cewek yang tengah berpelukan di kafe, siang tadi. Ya, Alya baru sadar cowok yang ada di kafe itu adalah cowok yang beberapa hari ini selalu bertemu dengan Alya bahkan berhasil mengganggu pikirannya. Pantas saja tadi siang ia merasa tidak asing dengan wajah cowok itu, ternyata ia memang mengetahuinya.

Ketika otaknya sedang sibuk berpikir, suara ketukan pintu dari luar kamar berhasil membuyarkan lamunannya.

"Dek, kamu di dalam, kan?" suara  Bang Ilham dari luar kamar terdengar.

Alya gelagapan. Apa yang akan di pikirkan Bang Ilham ketika melihat kamarnya berantakan seperti ini. Alya mencoba merapikan buku-bukunya lagi.

"Al ...." suara Bang Ilham terdengar lagi.

"Iya, Bang. Masuk aja," ucap Alya setengah berteriak.

Pintu kamar terbuka, tak lama Ilham masuk. Dahinya berkerut ketika melihat kamar Alya yang sudah seperti kapal pecah.

"Dek, kok kamarnya berantakan gini?" tanyanya.

Alya nyengir kuda, "Emm... Iya, Bang. Alya lagi nyari buku," alibinya.

"Buku apa? Udah dapat?"

"Novel, sih. Ini, udah dapat kok," tanganya mengambil asal salah satu novel yang ada di tempat tidur.

Ilham mengangguk-anggukan kepalanya seolah mengerti. "Nanti abang bantu rapikan, tapi sekarang kita ke bawah dulu, ya. Bunda sama Ayah udah nunggu untuk makan malam," ucap Ilham.

Alya melirik jam yang tertempel di dinding kamar, "Ayah udah pulang?" matanya berbinar ketika menanyakan itu.

Ilham tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Iya, udah." jawabnya.

Alya turun dari tempat tidur, layaknya seperti anak kecil ia menarik lengan Ilham agar segera keluar bersamanya.

Ilham tersenyum melihat tingkah adik kesayangannya itu. Ilham tahu, Alya pasti sangat merindukan Ayah setelah satu harian tak bertemu. Alya memang sangat manja dengan Ayahnya, begitu pun dengan Ayahnya yang selalu memanjakan Alya sedari kecil sampai saat ini.

Ilham sangat bersuyukur mempunyai keluarga yang saling menyayangi seperti ini. Keluarga mereka tak pernah bertengkar, apalagi menyakiti. Sebab, sedari kecil Ayah dan Bunda selalu mengajarkan untuk saling menyayangi, bukan hanya dengan keluarga tetapi juga untuk orang lain.

***

Di tempat yang berbeda, suasana yang berbeda, dan keluarga yang berbeda. Seorang pemuda bersama kedua orang tuanya saling berdebat, mempertahan pendapat masing-masing. Satu jam sudah mereka membahas hal yang tak penting, dan anehnya tidak ada satu pun yang mau mengalah.

"Zikri tetap gak setuju, Pa. Nana punya kehidupan sendiri, dia berhak menentukan pilihannya tanpa paksaan dari orang lain. Termasuk orang tuanya," Zikri masih keukhe mempertahankan pendapatnya. Nama seorang gadis yang bernama Nana, ikut di bahas dalam percakapan mereka— lebih tepatnya memang itu yang sedang di bahas.

"Zikri, kamu gak perlu ikut campur urusan keluarga mereka. Lagian, nanti kamu juga akan merasakan hal yang sama seperti Nana. Jadi, lebih baik kamu gak usah ikut campur urusan mereka, karena kamu juga bakalan ada di posisi Nana," kini sang Mama lah yang bersuara. Sorot matanya menatap Zikri tegas.

"Iya, Mama kamu benar, Zikri." kini sang Papa juga ikut bersuara.

Zikri membuang napasnya kasar. Sungguh, ia sangat muak dengan semua ini. Keluarga, orang tua, hidup, dan kini uang.

"Kalau Mama dan Papa juga berniat melakukan hal yang sama seperti tante Zira dan Om Wira, justru itu hal yang bagus," Zikri menjeda kalimatnya. Matanya menatap dua orang yang ada di hadapannya yang sampai saat ini tetap menjadi orang tuanya. "Jadi Zikri gak perlu khawatir Nana kabur sendirian, karena kami akan kabur sama-sama." setelah mengucapkan itu, Zikri berlari menaiki satu persatu anak tangga agar segera sampai ke kamar. Ia tidak mempedulikan teriakan orang tuanya yang terus saja memanggil namanya.

Setibanya di kamar, Zikri membanting pintu kamar sehingga tercipta suara yang menggema di ruangan itu, tak lupa juga ia mengunci pintu tersebut agar tak seorang pun yang bisa masuk.

Ia menjambak rambutnya kasar, kakinya melangkah ke tempat tidur dan setelahnya ia membanting tubuhnya di sana. Zikri sangat muak dengan orang tuanya yang selalu membahas uang, uang, dan uang. Seperti tak ada lagi yang harus di bahas selain benda itu.

Matanya menerawang langit-langit kamar. Sungguh, ia lelah, bosan, capek, bahkan hampir frustasi. Ia membutuhkan sosok orang tua di hidupnya— orang tua yang bisa mengerti dirinya tanpa membahas kerja dan uang. Orang tua yang menyayanginya tulus tanpa memikirkan hal lain selain dari dirinya.

Zikri merubah posisinya menjadi duduk. Tiba-tiba ia teringat sebuah kertas yang belum habis di bacanya. Kakinya melangkah ke meja belajar, mengambil kertas yang di selipkannya di buku. Ia membuka kertas itu, dan kembali membaca dari awal.

Untukmu, Jodohku di Masa Depan.

Percayalah, aku menulis ini di sunyinya malam, bersama rintik hujan dari luar jendela kamar yang terdengar sangat merdu menemani malamku yang sunyi.

Aku tahu, mungkin kau tidak membacanya, tapi yasudah lah aku juga tidak peduli toh, aku hanya menuliskan segala hal yang memenuhi pikiranku.

Kamu tahu hal apa yang selalu ku tunggu? Bertemu dengan mu.

Aku selalu berharap dapat bertemu dengan sosok yang nantinya akan menjadi ayah dari anak-anakku. Sosok yang menjadi panutanku nantinya dan yang dapat membimbingku dunia dan akhirat.

Mungkin untuk anak seusiaku belum saatnya untuk memikirkan itu. Tapi tidak ada salahnya kan untuk memikirkannya.

Aku bukanlah gadis yang pandai merangkai kata, tapi dengan surat ini aku mencoba untuk mengungkapkannya.

Dan, aku harap orang pertama yang membaca surat ini adalah kamu, Jodohku di masa depan.

Tertanda
A I

Zikri melipat keras itu. Entah kenapa senyumnya tercetak ketika membaca surat itu. Menurutnya itu lucu, tapi dia senang membacanya.

"Kalau gue orang yang pertama baca surat ini, berati gue jodohnya." gumamnya sambil terkekeh pelan.

[]

A/N

Bismillah, semoga suka sama part ini. Gimana rasanya ngebaca bagian ini^^

Hehe, jangan lupa tinggalkan jejak ya. Vote Coment and Share^^

Terima Kasih.

ALYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang