Tuan Pena

14 6 0
                                    


      Hujan hari ini sepertinya tak berujung. Awan sepertinya lelah menyerah ada mendung, hingga membuatnya tak mau menampakan diri sedikit pun. Bahkan mentari tak tau dari sisi mana ia akan menyelinapkan cahayanya. Argh.. Sepertinya sang kuasa memang tak mengizinkan hari ini aku bertemu dengan dia. Ku raih ponsel yang sendari tadi tergeletak tak bernyawa di nakas putih itu. Dan menghubungi seseorang yang jauh di tempat tak bernama.
      "Hallo?"
      Percayalah, ini sudah terhubung tetapi makhluk ciptaan tuhan satu ini tak menyahut sedikitpun, bahkan deru nafasnya pun tak dapat ku rasakan. Selalu seperti ini, aku tak pernah bisa mendengar sedikitpun suaranya via telpun. Sangat berbeda ketika ia berwujud secarik kertas. Aku kembali menghela nafas pasrah.
      "hari ini di rumah saya hujan deras. Sepertinya tidak akan reda hingga malam nanti. Mungkin lain waktu itupun jika kamu mau" ini sungguh gila, aku serasa berbicara dengan batangan yang menempel di telinga. Aku masih menunggu namun tak kunjung bersua. " baiklah, anda bisa menutup ponsel ini. Setidaknya saya merasa menjadi manusia apabila berbicara di secarik kertas ketimbang menelpun seperti ini. Selamat sore"
      Jika dekat mungkin akan ku sumpah serapah manusia ini. Aku kembali mengelus dada berusaha menahan amarah yang tertahan. Aku berjanji seperti apapun manusia yang jauh disana itu, nanti ketika tuhan bener-benar akan mempertemukan kita lihat saja apa yang akan aku lakukan.
      Seminggu setelah kejadian telpun bisu itu sepucuk surat tiba dirumahku. Aku tersenyum simpul, tentu saja aku selalu menantikan apa secarik kertas berbicara ini. Tentu merindukan rangkaian kata yang dirakit di sebuah pena. Dengan tergesa aku membuka lipatan kertas berwana hijau daun itu.
      Dahiku mengkerut, isinya tidak seperti biasanya. Ini seperti puisi namun lebih kesebuah ungkapan perasaan. Aku coba membacanya berulang-ulang. Oke, aku tau. Aku bukan anak sastra yang bisa mengartikan kata-kata bermajas seperti ini.

Mendung.....
Mendung belung melengkung
Pekat ketat tak bercela,
Gerak gemercik di undangnya
Namun kunjung tak datang,

Mendung belung melengkung
Pekat ketat tak bercela,
Sinar surya tak menembus,
Argh! Pedih perih rasanya.

Mendung belung melengkung
Pekat ketat tak bercela,
Terombang ambing
Dalam rasa yang berkabung.

....................Tuan pena.

      Adakah yang bisa membantuku? Ayolah aku anak Menejement bukan anak sastrawan! Apa yang harus aku perbuat? Apa yang harus aku balas? Jika aku bertanya tentu saja itu akan menurunkan harga diriku! Atau jangan aku balas saja? Ya. Sebaiknya begitu, aku akan cari tau apa sebenarnya makna dari kata-kata manusia bisu itu.
      Minggu pun tiba, itu artinya sudah 5 hari aku tak menghiraukan surat itu. Jujur saja rasanya cukup mengganggu, aku sangat-sangat di hantui oleh rasa penasaran akan artinya tapi semakin aku membacanya kepalaku semakin pusing.
      Tapi minggu ini cukup tak bersahabat, awan kembali mendung tapi sejak tadi tapi tak ada tanda-tanda akan hujan. Apa maksudnya? Matahari pun tak ada sedikitpun. Bagaimana baju-bajuku akan kering jika seperti ini. Jika bisa aku rangkai sepertinya awan tengah merasakan sesuatu hal hingga membuat ia tak bisa menurunkan hujan tetapi ia enggan untuk mengizinkan matahari tuk menghilangkannya.
      Tunggu! Entah kenapa aku ingat dengan secarik kertas hijau daun itu. Aku berlari tuk mengambilnya dan berusaha membacanya kembali. Kemudian aku mencoba mengaitkan dengan apa yang terjadi hari ini.  Sepertinya aku mengerti, tuan pena sedang merasakan hal yang sama seperti apa yang ia gambarkan pada awan mendung. Tapi kata "berkabung" apa maksudnya? Ahh... Sepertinya ada yang terjadi. Tapi apa? Sudah kuputuskan aku akan membalas surat itu dan menanyakan apa yang aku rasakan tentang arti surat ini.

      Berhari-hari aku menunggu, hingga musim telah berganti. Panas membara membuatku enggan untuk berdiam diri dirumah saja. Aku pun pergi kesebuah restourant santai di dekat pusat kota. Rasa penasaranku terus menghantui, tentu saja penasaran tentang tuan pena itu. Dering ponselku membuat pikiranku teralihkan, namun nama yang tercetak jelas di layar itu lebih membuat nafasku terhenti.
      "TUAN PENA!" dengan gemetar tanganku berusaha untuk mengangkatnya.
      "ha...hallo?" ucapku bergetar. Lebih dari 10 menit tak ada sahutan sama sekali. Aku menghela nafas pasrah sudah pasti begini.
      "baiklah, sebaiknya aku matikan saja ya. Bia..."
      " arah jam 3 tempat kamu duduk" suara ini? Untuk pertama kalinya dia bersuara. Suara berat yang sedikit serak. Aku seperti mengenalnya, tunggu dia seperti orang yang aku kenal dengan jelas. Dengan perlahan aku berusaha menoleh ke belakang cukup tidak jelas. Aku berjalan takut-takut dan penasaran. Oh tuhann,,, rasanya deg-degan tak karuan. Semakin dekat dan jelas, hingga langkahku terhenti, tiba-tiba air mataku jatuh. Sakit dan perih yang aku timbun dahulu kini timbul kembali.
      "Gi...Giri?" lelaki itu hanya tersenyum manis.

Tbc.

A K UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang