Seorang Guru

48 10 47
                                    

Keesokan harinya, aku bangun dengan keadaan yang masih sangat mengantuk karena mengabiskan waktuku untuk bermain game sampai jam 2 malam. Aku melihat jam alarm yang ada di sebelah kasurku.

"Sial! aku lupa mengatur alarmnya!"

Jam menunjukkan sudah pukul 8 pagi, aku bergegas merapikan peralatan sekolahku dan memakai seragam kemudian menuju ruang tengah, terdapat sebuah catanan dari ibuku.

Aku membaca catatan dari ibuku. "Maaf ibu harus berangkat sangat pagi, semoga kau tidak kesiangan, sarapanmu sudah ibu taruh di meja."

Dengan tergesa-gesa segera keluar dari rumah tanpa memakan sarapan, aku berlarian di perjalanan menuju sekolah. Nafasku terengah-engah menatap gerbang sekolah sudah tertutup dan harus menunggu sampai pelajaran berikutnya agar bisa masuk.

Setelah menunggu selama setengah jam akhirnya diperbolehkan masuk, aku berlarian di koridor menuju ruang kelasku. Aku mengetuk pintu kelas kemudian masuk.

"Ishikawa Eiji, sudah keberapa sekian kalinya kau telat?" ucap Pak Shimada padaku.

"Mohon maafkan saya pak-" ucapanku terpotong.

"Eiji, kenapa bajumu lecek begitu?" tanya Pak Shimada.

"Anuu.. pak..." Aku bingung menjawabnya karena tatapan dari kelompok Gato yang mengancamku.

"Saya terjatuh di perjalanan menuju sekolah, Pak. Mohon maaf." Terpaksa aku harus berbohong.

Aku dimarahi oleh Pak Shimada, dan kata beliau aku harus ke ruangannya setelah sekolah berakhir. Kemudian, pelajaran sekolah berjalan dengan normal, Pak Shimada memberitahuku informasi penting tentang 'Ujian Akhir Sekolah' dan meminta data tujuan SMA para siswa. Dalam benakku, aku sangat tidak ingin satu sekolah lagi dengan Gato dan teman-temannya.

*treeenngggg*

Bel panjang menandakan kegiatan sekolah hari ini telah berakhir. Sepertinya hari ini Gato tidak mengincarku, kulihat mereka langsung pergi secara berkelompok melewati gerbang sekolah.

Aku lantas bergegas segera menuju ruang guru, Pak Shimada sepertinya belum sampai di sini. Aku menunggu sambil memainkan ponsel yang kuambil dari saku. Tak lama, Pak Shimada datang membawa tumpukan selembaran kertas.

Pak Shimada meminta tolong padaku, "Ah, maaf Eiji, bisa bantu sebentar?"

Aku lantas membantunya, Pak Shimada membagi tumpukan kertasnya kemudia ia membuka pintu ruangannya. Aku dan Pak Shimada memasuki ruangan lalu meletakkan tumpukan kertas di mejanya, kemudian aku disuruh duduk di kursi depan meja kerjanya.

Karena rasa penasaranku, aku bertanya, "Sebenarnya, itu semua kertas apa pak?"

"Oh ini, semuanya adalah data siswa kelas tiga dari kelas lain mengenai rencana setelah lulus dari SMP." Jawab pak Shimada.

"Tapi kelasku belum mengumpulkan datanya, termasuk aku," sambungku.

"Ya itu, maafkan bapak telat memberitahunya, tapi masi bisa dikumpulkan sampai minggu depan," ucapnya.

Pak Shimada sibuk merapikan tumpukan kertas sedangkan aku duduk sambil memperhatikan tiap lembaran kertas yang disusun olehnya. Setelah semuanya tersusun rapi, Pak Shimada mulai mengajakku berbincang perihal beliau memanggilku kemari.

"Nak Eiji, bapak tahu kalau kau punya masalah dengan salah satu atau beberapa murid di kelasmu," ucapnya.

Dengan terheran aku menjawab, "Bagaimana bapak bisa tahu?"

Pak Shimada menjawab, "Tentu saja bapak tahu, seorang guru yang memperhatikan muridnya pasti tahu."

Akhirnya aku jujur. "Ya, yang bapak bilang itu benar, saya selalu ditindas oleh anak-anak lain, ini semua karena kemampuan saya di segala bidang yang rendah."

"Kau itu ya, jangan terus-terusan mengikuti dunia di sekitarmu, sesekali kau harus melawan arus. Jangan biarkan orang-orang jahat itu merenggut kebahagiaanmu." Ucap pak Shimada.

"Tapi pak, jika saya melawan, sudah dipastikan saya akan kalah." Bantahku.

"Kalau kau kalah, kau hanya harus mencari peluang untuk menang, semuanya bisa dilakukan asalkan niat berasal dari dalam dirimu."

"Jadi, bapak ingin melihatku menjadi lebih babak belur dari ini?" Cetusku.

Pak Shimada tiba-tiba bangun dari kursinya. "Kalau itu yang bapak inginkan, bapak sudah pasti bisa melakukannya saat ini juga." Dengan tatapan tajam pak Shimada menarik kerah bajuku.

Aura dari pak Shimada tiba-tiba saja berubah, tatapannya menakutkan. Aku sedikit gemetaran dan bingung dalam posisi seperti ini.

"Jawab, apa kau masih menginginkan hidupmu? atau memberikannya untuk orang lain?" Pak Shimada menanyaiku dengan tegas.

Dengan gugup aku menjawab, "A-aku menginginkan hidupku, aku tidak mau orang lain merenggut kehidupanku."

"Kalau begitu, ingat ini, hidupmu adalah milikmu, pertahankan hal itu. Mengerti?!" ucapan pak Shimada tegas padaku.

Dengan mendapat kepercayaan diri aku menjawab, "Baik pak! Saya akan berusaha untuk menjadikan hidupku untuk diriku sendiri!"

To Be Ikemen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang