Kata Ajaib

33 7 5
                                    

Keesokan harinya, aku bangun lebih awal dengan semangat baru menuju sekolah. Aku agak babak belur akibat kemarin tapi entah mengapa jiwaku sangat merasa sehat dan bebanku sedikit berkurang hari ini.

Kelasku masih sepi dan belum ada siapapun, aku mengingat gerakan perkelahian kemarin dan mencoba mempraktikannya sekarang mumpung tidak ada orang yang melihat.

Aku asik sendiri dengan memperagakan gerakan-gerakan layaknya seorang ahli bela diri di kelas yang masih sepi ini. Tak lama kemudian terdengar langkah seseorang di koridor depan kelas, aku segera berhenti dan mengambil sapu sambil pura-pura menyapu.

Orang yang baru datang ternyata adalah Gato, dia menatapku dengan rasa kesal kemudian aku tidak sengaja menatapnya balik, dia malah membuang muka. Tumben sekali dia diam melihatku, biasanya dia akan langsung menghinaku atau membullyku. Dia terlihat agak suram hari ini, sepertinya akibat perkelahian kemarin.

Selang beberapa menit, kawan-kawannya memasuki kelas, mereka semua sama, tidak ada yang mau memperhatikanku. Mereka seperti menghindari tatap muka denganku, dengan begini aku bisa tenang tanpa rasa takut seperti hari-hari kemarin. Akhirnya bisa mengikuti kegiatan belajar di sekolah dengan tenang tanpa gangguan dari mereka. Aku mengajukan diri untuk mengantarkan kertas data dari para siswa untuk diberikan pada Pak Shimada ke ruangannya.

Hari sudah sore, aku merapikan semua peralatan belajarku kemudian memasukkannya ke tas. Kelas sudah sepi, aku mengangkat kertas yang sudah tertumpuk di mejaku. Ada satu orang yang belum keluar kelas, salah seorang kawan Gato menghampiriku, namanya adalah Fumio. Dulu dia pernah satu sekolah denganku di SD, semenjak ia dekat dengan Gato sikapnya sangat berubah padaku, bahkan dia ikut-ikutan membullyku.

“Hei Eiji, maaf soal yang kemarin. Mau ke rumahku hari ini? aku punya game baru.” Fumio mengajakku ke rumahnya.

“Untuk apa aku harus ikut denganmu? Paling akhirnya kau menjebakku dan memukuliku lagi,” jawabku.

“Tidak, tidak, percayalah padaku.. aku menyesal selama ini sudah berprilaku buruk padamu. Aku sebenarnya tidak ingin, tapi Gato yang memegang kendali di kelas ini, kalau aku tak mengikutinya aku akan ikut kena pukul.”

“Jadi, kau lebih memilih mereka daripada teman masa kecilmu?”

“Maafkan aku, aku sangat menyesal..” wajahnya termenung ke bawah, ia seperti tidak ingin aku menatapnya saat ini.

“Yasudah, tapi aku tidak ingin ke rumahmu hari ini. Aku ada urusan.”Aku meninggalkan Fumio keluar dari kelas menuju ruangan Pak Shimada.

Tok.. tok.. took..

Aku mengetuk pintu ruangan Pak Shimada. “Ya, silahkan masuk.” Jawab Pak Shimada dari dalam.

Pak Shimada terlihat sibuk, ia masih memeriksa, membaca satu per satu selembaran kertas data seluruh siswa kelas tiga sekolah ini.

“Mohon permisi pak, ini kertas data siswa kelas tiga dari kelasku,” ucapku sambil membawa tumpuka kertas di tanganku.

“Taruh saja disini, di mejaku.”

Aku menaruh tumpukan kertas ini ke mejanya, aku gugup ingin bicara soal masalah kemarin, kemudian terdiam.

“Kamu kesini bukan hanya ingin menyerahkan kertas-kertas itu kan?” tanya Pak Shimada.

Dengan gugup aku menjawab, “I-iya pak.. saya masih mengingat kata-kata bapak yang kemarin.”

“Bagaimana ...? kau sehat-sehat saja?”

“Iya pak, saya sehat-sehat saja. Aku ingin bertanya, apa bapak tidak ada masalah berkelahi dengan murid kemarin?”

“Tentu tidak, mereka murid-muridku, bapak hanya ingin mengajari sesuatu yang penting yaitu tidak boleh menindas yang lemah.”

“Tapi pak, jika mereka melapor ...?”

“Tenang saja, mereka tidak akan berani melakukan itu, kalau mereka melakukan itu sama saja mereka telah menjebloskan dirinya sendiri ke jurang. Terlebih, aku adalah pembimbing klub beladiri di sekolah ini dan mereka dulu pernah tergabung dalam klub beladiri.”

Aku terkejut, kukira Pak Shimada hanya seorang guru pelajaran umum saja. Banyak yang tidak kuketahui ketika aku meratapi nasibku sendiri menjadi bahan penindasan.

“Apakah Pak Shimada mau mengajariku teknik beladiri?”

“Kau memang memiliki potensi, namun jawabanku ... tidak.” Pak Shimada mengatakannya dengan tegas padaku.

“Kenapa ...?” tanyaku dengan rasa kecewa.

“Kau sudah kelas tiga kan? Kau harus fokus untuk menghadapi ujian.”

“Tapi, maksud bapak kemarin berkata akan mengajariku sesuatu itu apa?”

“Bapak hanya akan memberikan konseling padamu.”

Pada saat itu diruangannya aku hanya diberi beberapa nasihat agar aku menjadi lebih rajin dan berniat lulus dari sekolah ini dengan nilai yang bagus. Tapi, diantara banyaknya kata yang keluar dari mulut Pak Shimada ada beberapa kata  yang terus terngiang di pikiranku.

“Eiji, Ingatlah ... Jangan pernah meremehkan kemampuanmu. Jika kamu menyadari betapa kuatnya pikiranmu, kamu tak akan pernah berpikir tuk menyerah. ”

“Tapi Pak, bagaimana jika saya gagal dan merasa ingin menyerah sewaktu-waktu?” tanyaku.

“Saat kamu terjatuh, tersenyumlah. Karena orang yang pernah jatuh adalah orang yang sedang menuju keberhasilan. Kamu adalah seorang yang istimewa, kamu hanya tidak menyadarinya, atau mungkin belum menyadarinya.”

Kata-kata ajaibnya keluar bagaikan sebuah sihir yang menempus kepala dan hatiku, bagaikan tombol semangat yang telah lama tidak tersentuh olehku kini kembali menyala. Membuatku lebih menghargai hidupku sendiri.

To Be Ikemen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang