Part 4

2.8K 135 7
                                    

"Gar... Kamu ga bosen udah hampir enam tahun hidup sendiri? "

Rupanya ini tujuan Papa menyuruhku mampir. Lagi-lagi soal kesendirianku. Ternyata bukan hanya Jevin saja yang sudah kebelet punya mommy baru, Papa juga udah ga sabar buat punya menantu baru kayanya.

Masakan mama yang biasanya enak banget ini jadi berasa hambar, karena selama makan, Mama dan Papa terus menerus membahas mengenai calon istri.

"Jevin juga kayanya udah pengen punya mommy baru loh Gar... Mama suka ga tega klo denger dia ceritain temen-temennya yang pada punya ibu. "

Kan, Mama nambahin rasa hambarnya.

"Ma, Pa, Edgar bukannya ga mau, tapi udah beberapa kali Edgar coba... Ternyata ga semudah itu menggantikan posisi Almarhumah Tania. " Dentingan sendok di atas piring menandai hilangnya selera makanku. Lebih baik aku ajak Jevin jalan-jalan, daripada harus mendengarkan ceramah seharian dari kedua orangtua yang mulai menua itu.

"Edgar permisi dulu Ma, Pa. " Akhirnya aku pamit, sebelum kepalaku berasap. Sebab gak mungkin aku melawan omongan mereka, dosa.

Eitss... Jangan ketawa. Biarpun solat ku kalah rajin sama Jevin, tapi untuk urusan melawan sama orangtua, aku jauh.

***

Jalanan kota Seoul sudah ramai sepagi ini. Cenna sedang menuju ke penginapan Nai. Udara dingin tak menghalangi langkahnya untuk menemui gadis mungil itu.

Selama perjalanan, Cenna bertanya-tanya apakah yang membuatnya berani mempertaruhkan kemarahan Papa, hanya untuk menemani seorang gadis jalan-jalan?

Namun hingga kakinya menapak di depan penginapan, jawaban itu tak kunjung ia temukan.

Gadis berkerudung jelas bukan tipenya. Tapi kenapa Nai bisa membuatnya merasa nyaman?

Padahal bersentuhan saja tidak bisa.

Lagipula entah kenapa, Cenna merasa selalu ingin menjaga Nai, saat ia bersama gadis itu.

Hhhh... Entahlah.

Nai kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ia sudah sampai di depan penginapan.

Tapi ini masih jam delapan. Masih satu jam lagi untuk bisa bertemu Nai.

Ia harus menunggu.

Menunggu.

Sesuatu yang tidak akan pernah dilakukannya untuk orang lain.

Tapi kini, ia bahkan melakukannya tanpa diminta.

Dia pasti sudah gila.

Kesimpulan itu yang akhirnya Cenna berikan pada dirinya sendiri.

Butiran salju awal musim, membuyarkan lamunan Cenna. Ia mendongak, menatap arah kristal-kristal itu berjatuhan. Belum terlalu banyak, tapi cukup membuat Cenna tertegun memandangi keindahan alam yang satu itu.

Pencipta alam ini pasti luar biasa, karena siapapun Dia, Dia mampu menciptakan alam yang indah hingga ke detailnya.

Cenna mengangkat kedua tangannya sembari mendongak, butiran-butiran salju berjatuhan diatas wajah dan kedua tangannya. Ia tampak menikmati semua itu.

Hal sederhana yang biasanya luput dari perhatian, ternyata bisa membuatnya sebahagia ini.

Ini kah yang dinamakan bersyukur? Saat hal sederhana pun menjadi sangat bermakna?

Mungkin iya...

Tapi Cenna masih belum tahu, pada apa dan siapa serta bagaimana dia harus bersyukur.

JEJAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang