Part 7

2.2K 124 3
                                    


Naina merasa agak gelisah malam ini. Ia benar-benar merindukan Rafisha. Nuraninya berkata, ada yang tidak beres pada anak itu.

Ia ingin sekali menghubungi Mas Reka untuk tahu keadaan Rafisha. Tapi saat ini ia sudah tidak menyimpan nomor lelaki itu lagi. Sebenarnya bisa saja ia menghubungi Abah untuk mengetahui apakah ada kabar dari Mas Reka mengenai Rafisha.

Sudah hampir pagi. Nai masih tepekur diatas sajadah, sudah berjam-jam ia berdzikir, memohon ketenangan juga keselamatan bagi orang-orang yang dicintainya. Terutama Rafisha. Airmata tak berhenti mengalir, seiring lantunan dzikir yang terucap lirih dari bibir Nai.

'Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk menjalani ini semua. Juga mudahkanlah ya Allah, jauhkanlah kami dari semua mara bahaya, penyakit, dan orang-orang yang berniat dzalim kepada kami. Aamiinn.' Nai menutup doanya persis saat adzan subuh berkumandang melalui aplikasi di ponsel.

Selesai subuh, Nai diserang rasa kantuk yang amat sangat. Tanpa sadar ia tertidur, masih dalam balutan mukena, dan diatas sajadahnya.

***

Tok..tok..tok

"Masuk." Edgar menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas-berkas di meja.

"Permisi Pak. Ada yang mau bertemu,"

"Siapa?" Edgar mendongak. Ia heran biasanya semua tamu yang ingin bertemu dengannya sudah membuat janji sebelumnya.

"Katanya beliau walikelasnya putra Bapak, namanya Bu Lidia. "
Edgar mengerutkan kening. Tumben. Apa Jevin bikin masalah?

"Biarkan beliau masuk." Edgar merapikan berkas yang berantakan, karena tidak enak jika walikelas putranya tahu betapa tidak rapihnya dia.

"Silakan bu, " Sekretaris Edgar mengangguk sopan pada seorang wanita  cantik yang menurut perkiraan Edgar, usianya sekitar tiga puluh tahun. Wanita itu menggunakan pakaian muslimah yang sangat santun. Sikapnya juga demikian.

"Assalamualaikum pak Edgar." Bu Lidia mengatupkan kedua tangannya didepan dada.

"Wa'alaikumsalam Bu. Silakan duduk. " Edgar menjawab salam dengan melakukan hal yang sama.

"Maaf saya mengganggu waktunya Pak. Ada sedikit masalah yang perlu saya diskusikan dengan Bapak, mengenai Jevin. "

Sedetik kemudian Bu Lidia sudah memaparkan semua tingkah laku Jevin disekolah yang luput dari perhatian Edgar.

Anak itu, ternyata sangat menginginkan seorang ibu.

Bu Lidia bilang, Jevin selalu terlihat sedih saat melihat anak lain dijemput Ibu mereka. Jevin juga ternyata pernah bertanya pada Bu Lidia, bagaimana caranya agar ia bisa mempunyai Ibu seperti anak lain.

Edgar hanya bisa berterimakasih pada Bu Lidia, karena sudah begitu memperhatikan Jevin. Kegelisahan Edgar sebetulnya sama dengan Bu Lidia. Edgar sadar dia tidak bisa selalu memperhatikan Jevin. Biarpun sudah ada suster yang selalu menemani Jevin, tetap saja,

Anak itu butuh seorang Ibu.
***
Setelah berganti pakaian lebih dari dua puluh kali, Cenna baru benar-benar merasa penampilannya pas. Tidak seperti biasanya, pemuda itu butuh waktu berjam-jam hanya untuk berpakaian.

'Sempurna.'

Cenna bergumam pada bayangannya di cermin. Pantulan seorang pemuda dengan raut wajah bahagia terpampang di hadapannya. Lesung pipi di kanan dan kiri menjadikan senyumnya semakin sempurna. Setelah merasa semuanya oke, Cenna bergegas turun dari flatnya.

Hari ini dia dan Nai akan ke Pulau Nami.
Pulau paling romantis di Seoul.
Romantis, mengingat kata itu membuat pipi Cenna bersemu merah.

Rasanya seperti kencan.

JEJAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang