Part 9

1.9K 132 7
                                    

Sudah sebulan sejak kepulangan Nai dari Korea. Sekarang Nai mengajar salah satu pelajaran wajib di pondok. Hal ini dilakukan oleh Nai untuk membunuh waktu. Karena masih cukup lama kuliahnya dimulai.

Nai tidak ingin menghabiskan waktu dengan sia - sia, jadi mengajar merupakan salah satu caranya untuk membunuh waktu, dan membunuh kerinduannya pada Cenna.

Ya Cenna.

Sejak ia pulang, Nai sudah memutus semua kontak dengan pemuda itu.

Cenna sepertinya tidak menyerah untuk menghubungi Nai. Terbukti dengan banyaknya pesan yang Nai terima di akun sosial media miliknya, dari Cenna.

Tak satupun yang dibalas oleh Nai. Tapi pemuda itu masih bersikukuh, dan rutin mengirim Nai pesan tidak kurang dari sepuluh kali dalam sehari.

Nai sengaja tidak membaca pesan - pesan itu. Biarlah. Ia tidak mau Cenna lebih menderita jika Nai membaca pesan - pesannya, namun tidak membalas. Nai lebih memilih untuk tidak mengaktifkan pesannya sementara waktu.

Tapi Nai tetap bisa melihat notifikasi yang masuk, melalui email.

Hari ini Nai hanya mengajar dua kelas. Itu artinya Nai akan memiliki banyak waktu luang. Rencananya ia akan pergi untuk mengunjungi Rafisha. Sudah hampir sebulan keinginannya itu tertunda.

Saat ia tiba dari bandara sebulan lalu, tiba - tiba saja Abah mengenalkannya pada sebuah keluarga, yang konon ingin putra mereka melaksanakan ta'aruf dengan Nai. Nai terkejut dan sangat tidak siap saat itu.

Putra dari keluarga Pak Ramdhan Nasution, begitu abah memperkenalkan, adalah seorang pria yang sudah ditinggalkan istrinya karena meninggal dunia sebulan setelah melahirkan putera mereka. Pria itu bernama George E. Nasution. Begitu yang tertulis dalam profil biodata yang diserahkan pada Nai untuk dipelajari.

Nai agak terenyuh saat mendengar kisah itu. Apalagi saat kedua orangtua yang sudah sepuh itu, menceritakan bahwa cucu mereka sangat merindukan ibunya.

Raut sedih serta tetesan airmata turut mengiringi kisah itu. Sehingga tak urung membuat Nai ikut larut di dalamnya. Tapi Nai tak lantas mengiyakan. Ia masih harus berpikir, dan meminta waktu empat puluh hari sejak hari itu.

Kedua orangtua itu mengenal Abah dari seorang ustad kenalan mereka, yang katanya pernah bertamu serta ikut kajian di pondok. Katanya juga, mereka memang sengaja meminta tolong pada ustad itu untuk menjadi mediator bagi putra mereka dan Nai. Namun sebelum ta'aruf itu dilaksanakan secara resmi, mereka ingin bersilaturahim dulu, maka disinilah mereka sekarang, berada di hadapan Nai yang masih tidak tahu harus berbuat apa.

***
Hari ini tepat tiga puluh hari dari rentang waktu yang Nai minta. Berarti tinggal sepuluh hari lagi Nai harus memberikan jawaban, apakah dia bersedia menjalani ta'aruf dengan - lelaki yang Nai bahkan lupa namanya- itu.

'Ah sudahlah. Nanti aja aku pikirin lagi. Lagian minta sama Allah juga belum ada jawaban. Apa aku kurang khusyu ya mintanya?' Nai bergumam seraya meninggalkan kelas terakhirnya.

Waktu masih menunjukkan pukul sebelas siang. Nai akan ke tempat mba Anne, untuk menemui Rafisha. Ia ingin melepas rindu dengan malaikat kecilnya. Nai yakin mba Anne tidak akan keberatan.

***

"Bang ... Gue denger katanya lo mau nikah yak?" Tanpa mengetuk pintu lebih dulu, tiba - tiba saja adik sepupunya Edgar itu sudah masuk dan duduk santai di depan meja.

"Ah elah. Kebiasaan banget sih Vis. Kalo masuk tuh ketok pintu dulu, kek. Udah tua juga. " Edgar hanya menoleh sedikit, dan memilih untuk tidak menghiraukan Avicenna, adik sepupu yang hanya bertaut usia dua tahun di bawahnya.

JEJAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang