Message in the bottle
Rumah keluarga Amanda memang kecil dan sempit. Tapi, aku senang berada di dalamnya. Entah kenapa. Aku suka dengan masakan Bunda-nya dan aku senang meladeni Arman yang ingin merasakan naik mobil keren karena dia pernah melihat aku dijemput Pak Didi di depan rumahnya. Tapi, aku hanya bisa berjanji nanti akan mengajaknya berkeliling karena sekarang aku harus belajar untuk ujian semester yang hanya tinggal dalam hitungan minggu.
“Lo nggak kepikiran setelah lulus SMA nanti mau masuk ke universitas mana?” Amanda tiba-tiba bertanya padaku saat aku sedang berusaha menyelesaikan PR Matematika-ku.
Aku hanya menggeleng. “Mama-ku belum bilang apa-apa soal itu,” jawabku singkat.
“Apa?” Amanda seakan nggak percaya dengan jawabanku yang terlalu ngasal.
Habisnya aku ini nggak pintar. Hanya Mama-ku yang tahu apa yang bisa kulakukan. Kalaupun aku memilih sendiri, itu nggak akan ada gunanya karena aku yakin apa yang kupilih pasti nggak sesuai keinginannya. Aku bosan berdebat dengan Mama-ku.
Aku nggak menjawabnya sehingga Amanda menggelengkan kepala seakan nggak percaya dengan jawabanku.
“Wah, lagi belajar ya?”
Rupanya Adrian datang dan menghampiri kami.
Ya, Adrian kakak laki-laki Amanda satu-satunya. Seperti Bunda-nya, Adrian juga ramah dan memiliki senyum yang hangat. Dia memang tinggi kurus dengan rambut yang sedikit gondrong plus berkaca mata dan mendekati ‘kutu buku’. Tapi Adrian membuat kesan kutu buku itu nggak melulu cupu dan kurang gaul. Dia sangat menyenangkan.
“Kebetulan nih aku beli cemilan,” kata dia sambil menaruh sebuah bungkusan kantong plastik di atas meja.
“Yes!” Arman tiba-tiba muncul entah dari mana dan langsung mengambil bungkusan.
“Arman!” seru Amanda yang protes. “Itu buat Seiren! Bukan buat kamu!”
Arman berubah menjadi cemberut sementara aku nggak bisa berhenti ketawa. Dengan patah semangat dia mengembalikan bungkusan itu ke atas meja.
“Mas Adrian beli apa sih? Hati-hati, Seiren nggak biasa makan jajanan pinggir jalan, nanti dia sakit perut,” ledek Amanda dan membuatku malu sekali.
Adrian hanya tertawa sambil memperhatikan buku pelajaranku. “Matematika ya?” tanya dia padaku.
Aku mengangguk.
“Iya, Matematika,” celetuk Amanda. “Mas Adrian coba ajarin Seiren deh. Daritadi dia nggak ngerti-ngerti. Apa aku yang nggak bisa ngajarin ya?”
“Ah, nggak!” kataku cepat-cepat. Merasa nggak enak sama Adrian yang jadi nangkring di meja kami. “Memang aku aja yang nggak bisa....”
Ini pertama kalinya aku merasa malu di depan orang; orangnya seperti Adrian pula. Seorang cowok ramah yang kelihatannya penyayang sama adik-adiknya. Apa sih yang kurang dari keluarga ini? Mereka nggak pernah kekurangan senyum untuk orang lain. Nggak pernah terlihat merasa kekurangan walaupun mereka tinggal di tempat seperti ini.
*****
“Perasaan gue aja atau... Mas Adrian memang suka sama lo, Ren,” celetuk Amanda tiba-tiba dan aku nyaris memuntahkan minumanku saking kagetnya.
Dia tengah menyirami bunga-bunga mataharinya yang ada di depan rumah dan aku duduk diterasnya yang hanya bisa memuat dua buah kursi kecil.
Amanda terbahak melihat ekspresiku. “Gue nggak maksud nyomblangin lo. Tapi, kayaknya sih gitu....”
“Adrian? Suka sama gue?” aku hampir nggak percaya. Aku memang nggak tahu apa-apa soal cowok. Aku belum pernah suka sama siapa pun. Walaupun di sekolah ada seseorang yang sempat kuperhatikan. Tapi, ini berbeda. “Kayak nggak ada cewek yang normal aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Seiren's Squad
RomanceSaat seorang anak perempuan tumbuh besar, cinta pertamanya adalah sang ayah, tapi aku? Aku bahkan nggak pernah tahu seperti apa ayahku. Dia meninggalkan Mama saat aku masih kecil dan belum mengerti apa yang disebut pengkhianatan. Mama-ku menyelamatk...