Pertemuan Kembali~
“Kenapa nggak ditelpon aja?” tanya Amanda ketika aku masih memandangi deretan angka-angka itu dengan gelisah.
Aku tersenyum gertir. “Gue nggak ingat kapan terakhir ngomong sama dia,” jelasku. “Apa yang bakal gue omongin? Kira-kira apa dia nggak bakal sakit jantung tiba-tiba gue nelpon?”
Amanda dan Pevi sengaja bertandang ke rumahku setelah pulang sekolah. Katanya mereka kangen karena aku selalu sibuk dengan Edward dan mereka sedikit ‘cemburu’. Awalnya mereka memang sempat bertanya tentang Edward dan aku dengan enteng menjawab ‘semuanya sudah berakhir’; mereka gembira mengetahuinya. Memang terlalu cepat untuk menyimpulkan sebuah akhir, tapi aku sudah nggak memiliki niatan lagi untuk bertemu Edward sehingga di sekolah aku selalu menghindari tempat-tempat di mana dia sering terlihat.
Aku nggak mau sebuah hubungan yang dijalani untuk kesenangan di tempat tidur saja. Aku ingin dicintai, bukan dicurigai. Bukan berarti karena aku menginginkan Edward, dia bisa memberiku apa yang kuinginkan. Mungkin aku tertarik padanya hanya karena dia keren. Sisanya... entahlah. Edward memang sedikit misterius. Seingatku dia nggak mengizinkan aku memegang handphone-nya, dia nggak suka aku mengutak-atik sesuatu di apartemen semisal laci meja atau lemari. Padahal aku melakukan itu hanya karena kurang kerjaan dan tempat itu terlalu membosankan. Barangkali aku bukan satu-satunya gadis yang pernah masuk ke sana; bisa jadi.
Ah, tiba-tiba aku meneteskan air mataku. Kenapa aku malah menyiksa diriku sendiri dengan terus memikirkannya? Aku baru sadar kalau Edward sendiri juga tampaknya menyembunyikan sesuatu dariku. Mungkin karena dia tahu aku gadis bodoh yang nggak mengerti dengan apa yang dia bicarakan di telepon karena berbahasa Inggris. Aku nggak benar-benar memastikan apakah itu memang adik perempuannya atau gadis lain.
“Yah, malah nangis!” celetuk Pevi yang kemudian merangkul pundakku. Dia mengira aku menangisi ayahku yang sudah melupakanku.
Aku kembali terisak. Bukan karena merindukan Papa yang sudah menghilang lebih dari separuh umurku, tapi karena lelaki yang ingkar padaku. Memangnya mana yang lebih menyakitkan? Merindukan sesuatu yang nggak pernah ada atau sesuatu yang pernah ada dan tiba-tiba hilang?
“Yang sabar ya, Sei...,” ujar Amanda yang bersandar di pundakku sambil memelukku.
Aku nggak benar-benar kehilangan tempat berpegangan; masih ada mereka yang setia. Kenapa aku bisa lupa tentang keberadaan sahabat seperti mereka?
“Udah deh, pokoknya telepon aja,” Pevi kembali berujar.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan memencet angka-angka yang dituliskan ibuku pada keypad telepon. Jantungku berdebar keras; bahkan berdiri di samping orang yang aku sukai saja nggak pernah sampai begini. Aku menaruh gagang telepon dengan hati-hati di telingaku dan mulai menunggu.
Panggilannya tersambung. Cukup lama aku menenggar nada tunggu yang membuat jantungku berlomba sampai aku mendengar suara itu. Suara seorang pria yang sesungguhnya pernah ada dalam hidupku tapi tiba-tiba menghilang.
“Hallo?” dia menyapa lebih dulu.
Aku tertegun. Suara detak jantungku bahkan lebih keras dari suara dari seberang.
“Hallo? Ini siapa?” suara itu kembali terdengar.
Kedua temanku menempelkan kupingnya di dekatku untuk ikut mendengar.
“Hallo?” ia memanggil lagi. “Ini siapa?”
Aku membersihkan tenggorokanku untuk mengatakannya dengan jelas. “Se... Seiren...,” kataku ragu-ragu dan tiba-tiba hening. Aku hanya mendengar suaranya bernafas. “Ini... Seiren...”
Apa dia masih ingat pernah memiliki seorang putri yang bernama Seiren?
“Apa kabar, Seiren?” suara itu menegurku setelah sepuluh detik keheningan yang membuatku bertambah gelisah.
“Ba... baik..., Pa...,” jawabku dengan terbata-bata. Lidahku kelu karena itu pertama kalinya lagi aku memanggilnya ‘Pa’. Aku saja nggak ingat kapan terakhir kalinya aku masih menyebutkan ‘Papa’ dengan bibirku.
Awalnya terasa begitu sulit. Namun setelah aku tahu bahwa ayahku nggak menutup teleponnya dan mulai bertanya banyak hal tentangku, membuatku sangat lega. Ada perasaan rindu yang menyelinap diam-diam setelah pembicaraan pertamaku dengan Papa sehingga kemudian aku sering menelponnya. Biasanya malam sebelum tidur aku menghubungi Papa. Walau sudah dua belas tahun lamanya ia meninggalkanku, aku nggak merasa marah ataupun dendam. Aku bersyukur, di saat yang paling kritis dalam hidupku ini, aku menemukan cinta pertamaku yang pernah hilang.
Aku mulai mereka-reka seperti apa sifat ayahku. Dari suaranya yang ramah, dia terkesan hangat; seperti Ayah-nya Amanda. Dia berbicara dengan nada yang lunak dan terdengar begitu perhatian; itu membuatku terpaksa membandingkannya dengan Mama yang tegas dan pemarah. Yang pasti, sifat Papa adalah kebalikan dari Mama. Mungkin karena itulah mereka berpisah. Tapi, itu hanya sebuah kemungkinan. Aku harus menanyakannya karena itulah niat awalku menghubungi Papa; untuk mempertanyakan kenapa aku nggak bisa memiliki sebuah keluarga yang utuh serta mengapa aku harus tinggal dengan Mama yang cenderung mencintai pekerjaannya ketimbang diriku.
“Apa Mama-mu belum pulang?” tanya Papa.
“Mama selalu pulang larut malam,” jawabku sambil mengutak-atik siaran televisi dengan remote sampai bosan. “Mama sibuk....”
“Mama-mu masih kerja?” tanya Papa lagi. Aku mulai heran, Papa nggak biasanya bertanya banyak soal Mama.
“Ya gitu deh, Pa...,” jawabku sambil menaruh remot di meja lalu pergi ke dapur untuk mengambil minuman dingin di kulkas.
“Apa Mama-mu nggak menikah lagi?”
Aku tertawa. “Ya, enggaklah, Pa!” jawabku. “Boro-boro. Sama aku aja nggak perhatian apalagi sama orang lain. Lagian Mama ‘kan pemarah, mana ada yang mau sama Mama?”
“Dulu Mama-mu nggak begitu,” kata Papa dan aku terdiam. “Mama-mu itu sabar dan nggak banyak omong.”
Aku cukup kaget. “Oh ya? Aku nggak percaya,” kataku, tertawa lagi. “Mama itu pemarah, Pa. Kalau Mama marah serem banget! Aku ngerasa Papa pasti pisah sama Mama karena Mama yang egois dan nggak mau ngalah....”
“Kamu salah, Nak...,” kata Papa kembali membuatku terbungkam. “Penyebabnya bukan Mama-mu tapi Papa....”
Papa mengingatkanku pada tujuan awalku, yaitu mengetahui alasan mereka berpisah. Aku melupakannya karena mengobrol dengan Papa terlalu menyenangkan.
“Apa Mama-mu nggak pernah cerita?” tanya Papa kemudian.
Aku menggeleng. “Mama nggak pernah cerita karena aku juga nggak nanya...,” jelasku. “Sebenarnya... Mama... ngasih nomor telepon Papa, supaya aku nanya langsung ke Papa....”
“Begitu ya?” Papa terdengar sedih.
“Memangnya... kenapa, Pa?” akhirnya aku menanyakan juga. “Kenapa Mama juga nggak mau ngomong langsung sama aku?”
“Karena itu adalah kesalahan Papa, Seiren...,” ucapan Papa membuatku lagi-lagi terdiam. Apa dia juga akan menjawab pertanyaan kenapa Mama juga hampir menangis sebelum naik mobil waktu itu?
Aku menunggu penjelasan Papa yang lain dan mengabaikan rasa haus di tenggorokanku. Aku hanya menaruh minuman itu di meja dan duduk di kursi.
“Papa jatuh cinta dengan orang lain sehingga Papa meninggalkan kamu dan Mama-mu,” jawaban Papa membuatku benar-benar hampir mati berdiri. “Mama-mu sama sekali nggak bersalah. Malahan dia berusaha jadi istri dan ibu yang baik... tapi Papa malah meninggalkannya....”
Ah, Mama... kenapa dia nggak pernah menceritakan kepedihannya padaku?
“Papa merasa bersalah dan karena itu Papa nggak pernah berani mengusik kalian lagi. Papa pikir... kamu membenci Papa setelah Mama kamu memberitahu apa yang Papa lakukan...”
Air mataku menetes lagi. Suaraku mulai gemetar. “Mama nggak pernah cerita tentang Papa... sama sekali nggak pernah....”
“Apa... kamu benci Papa, Seiren?”
Aku langsung menggeleng. “Kenapa aku harus benci?” balasku. “Aku... nggak menyangka... ternyata Mama menyembunyikan itu dariku selama ini.
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
Seiren's Squad
RomanceSaat seorang anak perempuan tumbuh besar, cinta pertamanya adalah sang ayah, tapi aku? Aku bahkan nggak pernah tahu seperti apa ayahku. Dia meninggalkan Mama saat aku masih kecil dan belum mengerti apa yang disebut pengkhianatan. Mama-ku menyelamatk...