lima

101 25 7
                                    


Ersya dah sembuh (7)

Janu: dijemput ngga, Sya?

Lian: Lian mau ikut dong jemput Kak Sya, kemaren belum sempet jenguk :(

Gibran: sinilah gue udah di rumah sakit kalian wacana mulu.

James: sama Yuto otw ke rumah Lian dulu

Lian: Oke Bang James.

Janu: sekalian James.

Yuto: Mas Kautsar sekalian ngga?

Kautsar: engga usah mau jemput Kak Ghina dulu.

Gibran: apaan Ghina udah di rumah sakit sama gue.

Gibran: kata Ersya langsung ke rumah aja, ini otw pulang.

Yuto: ok bang.

Kautsar: Kak Ghinaaaa huhuhu





Ersya hari ini sudah boleh pulang, Arsyi, Gibran serta adik kembarnya Ghina membereskan barang selama lelaki itu di rumah sakit. Sedangkan Wendy mengurus kekurangan berkas Ersya untuk kepergiannya ke Jepang.

"Jadi gimana, Sya?" Gibran berbisik kala tungkai mereka mengarah ke parkiran. Ghina masih menemani Arsyi mengurus administrasi.

"Ck, tiga tahun ngga sebentar loh." Komentar Gibran lagi setelah hanya dibalas gelengan pelan.

"Justru karena ngga sebentar, Gib. Rasanya ngga etis kaalau nyuruh dia nunggu selama itu." Ersya menarik napasnya panjang.

"Setidaknya bilang dulu, Sya. Urusan Wendy mau menunggu atau tidak belakangan." Gibran memberi nasihat terakhirnya sembari menepuk pundak sang lelaki.

Mau membalas panjang dengan ocehan kenapa ngga dari dulu saja dijedornya tapi urung.

Apabila Ersya tidak banyak bercerita tentang orang tuanya. Lelaki itu selalu mengumbar ceritanya dengan gadis di samping rumah. Gadis manis dengan rambut cokelat dan tubuh ramping seperti barbie. Gadis dengan suara merdu dan tinggi badan tidak melebihinya.

Bagaimana ia memiliki pendapat yang bertolak belakang akan tetapi selalu saling mencari satu sama lain kala gusar melanda. Bagaimana mereka begitu berbeda namun juga sangat mirip disaat yang bersamaan.

Atau bagaimana gelak tawa sang gadis dari lelucon garingnya ikut menghibur dan tangis pilu gadis itu sangat mempengaruhi diri Ersya sampai ke akar-akar. Serta satu-satunya tempat Ersya dapat mengeluh tentang orang tuanya; tentang ayahnya.

--


"Aku tadi ketemu ayah."

Wendy mengalihkan atensinya dari burger di tangan ke dalam manik legam milik Ersya. Dapat ia rasakan anak laki-laki itu menahan napas barang sejenak.

"Ayah bertanya kabar, dan hanya kubalas baik." Ersya tersenyum, tidak sampai bulan sabit terlihat. Jenis senyum yang Wendy benci selama mereka berteman.

Maka yang Wendy lakukan hanya mengulurkan tangannya; menggenggam jemari laki-laki itu tanpa mengeluarkan kata-kata.

Jawaban Wendy 17 tahun silam tentang kepergian papa gadis itu ingin Ersya terapkan juga dalam kehidupannya. Bagaimana Wendy Son masih tersenyum manis menceritakan penggal ingatan tentang papanya. Serta gigihnya gadis yang lebih pendek dari Ersya mengemamkan terima kasih karena sudah mau menjadi temannya menggantikan sosok sang ayah.

Akan tetapi Ersya bukan Wendy. Ersya dengan jelas dapat mendengar teriakan ayahnya tiap malam dan jeritan tertahan dari ibunda, meminta untuk memelankan suara sang suami agar dua buah hatinya tidak bangun.

Ersya berusia 7 tahun, melihat lebam milik ibunda tiap pagi yang selalu dijawab oleh beliau hanya terantuk lemari. Ersya berusia 7 tahun juga bersusah payah menutup telinga Arsyi dengan tangannya dan menyanyikan lagu yang ia hafal kalau-kalau adiknya terbangun di tengah malam. Takut-takut gadis itu akan mendengar barang yang dilempar menatap dinding di luar kamar.

Ersya berusia 7 tahun ingin masih menyayangi ayahnya ketika pada suatu malam ia pergi dan tidak pernah kembali. Maka, Ersya berusia 7 tahun menelan semua pertanyaan kenapa ketika ibunya tidak kunjung berhenti menangis ketika pagi menyapa.





------------

[1] Pilar ; Etion + Wendy √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang