Mare

8 2 0
                                    

Kita terjebak.

Kita dijebak.

Kita tertebak.

Di sebuah lautan dalam bernama politik yang gelap.

Haiqal terbangun dari lelapnya dengan dunia di sekitarnya yang terasa berputar. Matanya mengerjap begitu kesadaran yang entah berada di mana tadi, sudah bisa ia kumpulkan kembali.

Gelap di sekitarnya. Hanya ada sebuah lampu dengan cahaya 5 watt yang nampak menyedihkan di ruangan ini.

Namun, ia bisa merasakan jika ranjang yang saat ini ditidurinya, terasa empuk dan lembut. Ia pun bisa merasakan lembut dan hangatnya selimut yang membalut tubuhnya saat ini.

Dan ia bisa mendengar suara musik lembut dari sebuah gramophone yang berada di dekatnya, dengan seorang pria di hadapan gramophone tersebut.

“Haiqal Pratama. Menarik. Bagaimana tidurmu?”

Suara berat itu, membuat Haiqal menghela napas panjang. Sebelum ia sempat menjawab, Haiqal terdiam kala ia melihat pria di hadapannya ini, membalikkan tubuh ke arahnya dan tersenyum tipis.

Kumis tipisnya membawa kesan yang agak sedikit menakutkan dibarengi dengan tubuh tinggi gagahnya.

Ia berkacamata, dengan kemeja putih membalut tubuhnya dan sebuah map, berada di tangannya.

“Ah, ya, saya minta maaf karena tadi membuat kamu tidur waktu kamu butuh penjelasan. Bagaimana kalau sekarang saya jelaskan?”

Haiqal yang masih belum paham dengan situasi di sekitarnya, hanya bisa mengangguk seraya berusaha bangkit dari pembaringannya.

Begitu dirinya berhasil bangkit, Haiqal bisa melihat pria itu mengeluarkan sesuatu dari kantung kemejanya dan memencet tombol di benda itu.

“Agen Gatotkaca dengan Terduga Haiqal Pratama. Februari, 2003.”

Suara yang keluar dari benda itu, diiringi dengan senyum tipis dari pria misterius di ruang misterius ini, membuat Haiqal makin penasaran.

“Sebutkan nama dan asal organisasi.”

Haiqal tercekat kala ia mendengar pertanyaan itu, dari asal dan suara yang sama.

“Haiqal Pratama Alam ... dari ... dari ... Akademi Kepolisian.”

Benar. Dirinya baru saja diinterogasi.

.

3 : Mare.

.

Dengan langkah gontai, Haiqal melangkah ke arah rumah reyot itu. Kepalanya masih terasa agak pusing, efek dari suntikan tadi. Dasar pria paruh baya sialan.

Jika saja ia tidak menawari Haiqal pekerjaan yang sebanding dengan penderitaan yang kini ia rasakan, Haiqal pastikan pria itu sudah sampai ke neraka saat ini.

‘Jadi, kamu, mau satu milyar?’

‘Maksudnya?’

‘Saya akan beri kamu satu milyar. Asal kamu bersedia jadi bagian dari kami.’

‘Hah?’

‘Kamu bersedia tidak menyelidiki soal kasus Rahmat Alam? Kakak sepupumu sendiri?’

Haiqal spontan menggelengkan kepalanya kala ingatan beberapa saat lalu itu, terlintas di benaknya.

Sekarang sudah hampir pagi. Bisa Haiqal pastikan, Hakim dan pria keparat yang tengah sekarat itu, masih terlelap pulas.

Dengan cekatan, Haiqal membuka pintu rumahnya begitu ia sampai di bangunan reyot ini.

‘Kalau kamu tidak bersedia, kami bisa hancurkan apa yang kamu lindungi, Haiqal. Maju demi satu milyar dan nyawa keluargamu, saran saya.’

Haiqal terdiam begitu ia membuka pintu ini dan menemukan adiknya, Hakim, dan pria keparat itu, ayahnya, diikat seperti sandera dalam posisi meringkuk.

Bangsat. Kurang ajar! Keparat!

.

.

.

To Be Continue.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Game We Play - OC / NSFW.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang