Niat Jualan Gak, Sih?

515 41 32
                                    

Pagi hari adalah waktu paling sibuk bagi seluruh manusia di seluruh dunia. Mereka mendadak menjelma menjadi gurita, berpacu dengan waktu dalam melakukan beberapa hal sekaligus. Baik yang akan berangkat sekolah maupun bekerja.

Aku salah satu dari mereka. Selalu heboh di saat mentari menyapa. Mengerjakan rutinitas dengan terburu-buru. Seakan penjajah sudah berdiri di depan pintu.

Tapi itu dulu, saat aku masih bekerja di salah satu perusahaan konsultan kesehatan. Senin adalah hari yang menyebalkan. Kecuali jika senin adalah tanggal muda, aku suka. Well, kini waktuku lebih santai dan banyak. Online shop membuatku memiliki kebebasan waktu. Saatnya aku menikmati hidup di usia tiga puluh ini.

Riangnya siul mengawali pagi hariku. Tangan kanan memegang gawai, kiri meraih ceret untuk memasak kopi. Kupindahkan gawai ke tangan kiri. Menuang kopi sachet ke dalam gelas, lalu meraih roti tawar. Kugigit ujungnya, lalu memasukkannya ke gelas.

"Pleh! Pleh! Tch!" Berkali-kali kujepit lidah dengan bibir. Berharap bubuk manis tadi terlepas dengan meludah.

[Jangan lupa hari ini arisan di Harlequin cafe jam makan siang ya, Bebeb-bebeb. Ingat, dress code mint dan pink!] sebuah pesan masuk di grup Dara Manis.

Kedua jempolku dengan sigap bekerja sama membuat sebuah kalimat.

[Iyess Madame Santi. Arisan gue transfer ya! Gak pegang cash!] 

[Dasar olshop! Go green banget sih, sampe gak pegang cash.] Santi yang merupakan manager cabang sebuah bank kembali protes.

Aku terkekeh. Kalimat itu sudah sering terlontar oleh orang sekitarku. Entah mengapa sejak era virtual ini, aku malas sekali menarik uang. Lebih suka transfer atau gesek. Lebih praktis dan tak mudah habis.

[Ngomel aja sih Madame. Udah jangan berisik. Gue lagi meeting nih. Doain project gue goal. Biar rencana ladies vacation kita di tengah tahun ini lancar.] Arumi yang merupakan seorang animator menimpali.

[Beb, gue agak telat kayaknya. Pesawat baru landing jam sepuluh. Takut gak keburu jam dua belas di sana. Secara ya kan bok, Kemang macetos all the time. Lagian kenapa gak ambil tempat di tengah-tengah sih? Pacific Place, gitu?] Kali ini Siska seorang manager brand perusahaan minuman berkomentar.

Aku membaca selayang. Tangan memegang lakban dan gunting, mengemas semua pesanan. Seluruh paket syal ini harus diselesaikan dan siap kirim sebelum berangkat arisan. 

[Mbak, kok chatnya gak dibalas? Niat jualan gak sih?] Sebuah pesan dengan emote murka berwarna merah, berada di urutan teratas.

Aku buru-buru meletakkan alat tempurku dan meraih gawai tanpa melihat ada gelas kopi yang tersenggol lakban berukuran jumbo. Seketika itu juga, moccacino di dalamnya tumpah mengenai paket yang akan dikemas. Melesat masuk ke dalam plastik kemasan dan membuat warna coklat pada syal limited edition karyaku.

"Arrrghh, sial! Haduhh! Apes bener sih gue. Gara-gara chat rese ini nih!" Aku merutuk diri, mengambil tissue dan mengelap kemasan juga lantai yang menjadi lengket.

"Duh! Mana gak ada gantinya lagi. Amsyiong deh nih. Hari apa sih sekarang?" mulutku tak berhenti menggerutu.

[Aku gak jadi beli deh, lama banget responnya!] 

Kembali chat dari calon buyer tadi muncul dalam rentang waktu belum ada satu menit.

"Bodooo!" Aku berteriak kesal memaki gawaiku sendiri.

[Maaf terlambat balas. Siap kakak. Terima kasih sudah menghubungi kami.] Kutambahkan emote senyum paling manis sebagai penutup.

Pagi hariku kacau sudah. Ibarat pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Pack and Send!Where stories live. Discover now