Pesanan (1)

276 31 17
                                    

"Waah juragan jilbab akhirnya dateng. Udah kelar packing, Sis?" Santi menyambutku dengan cipika cipiki.

"Udah. Bukan jilbab, ya. Syal! Inget, s-y-a-l." Aku membalas kecupannya dengan kalimat penegasan.

"Iya, iya. Padahal gue liat di kumpulan testimoni, yang ngorder syal lo itu kebanyakan pakainya sebagai jilbab," kembali Santi bersikukuh dengan pernyataannya. 

Kami duduk di sudut kafe bergaya klasik elegan ini. Arumi sedang bersiap memesan, Ester terlihat masih mengetik sesuatu di notebooknya. Dering telepon Santi berbunyi, mengehentikan adu argumen kami.

"Pesen apa, Ken?" tanya Arumi dari balik kacamata bulatnya.

"Steak aja deh, Beb." Kutaruh tas di sisi samping meja uang telah terpasang hanging bag.

"Lo pesen apa, San?" tanya Arumi ke arah Santi.

Santi memberi kode dengan telunjuk, meminta Arumi memberinya sedikit waktu dan mempersilakan Ester memilih menu.

"Ester, lo gak makan?" Arumi menggoyangkan tangannya ke arah pandangan Ester yang sedang fokus menatap layar. Sepertinya ia sedang mempersiapkan materi ajar untuk kelas berikutnya. Ester merupakan dosen bidang eksak di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta.

"Hah? Oh, gue peseeen... Wait, gue liat menu. Uhm, Lemon Dory Fish aja. Minumnya Lychee Tea." Ester berkata pada pelayan. Kemudian kembali tenggelam pada layar notebooknya.

Pemandangan seperti ini sudah biasa di ibukota. Jakarta yang tak pernah berhenti beraktivitas, selalu ramai dan tak pernah tidur. Mobilitas yang tinggi, waktu yang seakan tak pernah cukup, bisa membuat orang-orang gila dan penuh kegelisahan kalau tak memiliki keseimbangan batiniah. Salah satunya adalah berkumpul bersama teman untuk sekedar berbincang, bergosip, arisan, walau pada akhirnya akan membahas proyek dan uang.

"Siska mau sampai sebentar lagi." Santi melaporkan informasi tentang peserta arisan lain.

Aku mendengar sambil sesekali melirik gawai. Menyicil membalas pesan yang masuk. Semenjak berjualan online, waktu dan perhatianku banyak tersita untuk gawai.

[Mb, sy mw bli. Bayarx gimans ya?] Sebuah chat dari pelanggan baru sedang kubaca.

[Silakan, sist. Mau yang mana?] Aku mengirim format pemesanan, lalu meletakkan gawai sejenak di atas meja.

Pelayan datang dan membawa minuman kami, lalu meletakkannya satu persatu sesuai pesanan tiap orang.

Aku menyesap Lime Squash favoritku. Minuman segar yang sangat cocok di panas terik seperti siang ini. Kembali kulihat chat tadi dan bersiap membalasnya.

[Nti dianter sm mbax ya? Ktemuan ja deh. Bs gx?], balasnya.

[Produk yang dipesan, nanti dikirim via kurir ekspedisi, Sist. Kita tidak bisa COD.] Aku membalas pesan dengan sopan. Kejadian seperti ini bukan kali pertama. Banyak pengguna sosial baru yang ingin membeli barang namun tidak mengerti caranya. 

[Y udh sy psn, ya. Krm ke rmhx Erni. Letakx di blxng rmh Haji Jadul. Blgin nanti rumahx wrna ijo. Uangx sy titip ke dy ya?]

Hampir saja aku tersedak membaca pesan ajaib tadi. Kali pertama, aku masih bisa mencerna. Kali ini, aku tidak bisa mencegah dahiku berkerut.

"Kenapa, Ken?" tanya Santi heran melihatku. Rupanya ia memperhatikanku sedari tadi.

"Enggak, ini ada orang order. Tapi chatnya lucu. Hampir aja gue keselek pas baca." Aku menjelaskan.

"Mana lihat?" Santi mencoba meminjam gawaiku.

Ketika kuberikan, ia tertawa, nyaris memuncratkan seluruh minum yang sudah disedotnya tadi.

"Apaan, San?" Arumi terlihat penasaran.

"Mau lihat, donk." Ester yang sedari tadi asik mengetik, tiba-tiba tertarik dengan pembicaraan receh ini.

Gawaiku-pun menjadi piala bergilir. Berpindah tangan dari satu wanita ke wanita lain. Mereka semua tertawa ketika membacanya.

"Gila! Ini orang tinggal di era berapa sih? Habis teleportasi dari masa lalu, apa? Kok old banget?" Arumi yang menurutku masuk kategori pendiam, berkomentar. Ia jarang sekali mengurusi masalah orang lain. Tapi sepertinya chat ini menggelitik rasionalitasnya untuk menanggapi.

"Pemain baru, kayaknya." Istilah itu sering kupakai untik mereka yang baru di lingkungan atau bidang tertentu.

"Iya sih. Kelihatan dari cara chatnya yang bikin sakit mata. Parah ya! Udah punya anak tapi nulisnya kayak balita yang baru belajar alfabet." Ester ikut menimpali pernyataan Arumi. Pernyataannya betul, karena status profilenya menulis nama anaknya.

Menurutku tulisan di social media atau instant messenger mencerminkan si penulis. Terutama chat pribadi. Semasa aku kerja dulu, aku akan menghapus email masuk apapun itu jika tulisannya tidak formal. Tanpa subject, tanpa kalimat "Dear" di awal dan "Regards" di akhir, disingkat. Oh c'mon! Bagaimana mungkin aku memasukkan mereka ke dalam list bantuan jika tata krama dalam mengirim email saja tidak tahu?

"Haha, udah ah. Gue kan mau ngumpul sama kalian. Malah pada ngebahas calon customer. Yuk, mulai setoran aja gimana?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Yuk!" Kami mengambil dompet masing-masing.




Pack and Send!Where stories live. Discover now