Satu: Pertemuan

25 4 2
                                    


Adalah sebuah keyakinan bahwa bertemu dengan nya tanpa sengaja bisa membawa ku pada perjalanan cinta yang tak biasa
______________________________________

Setelah kejadian itu, dimana reza mengungkapkan sesuatu di luar nalar. Bahwa dia menyukai fiona, sangat luar biasa. Ketika mereka sudah menjalin hubungan persahabatan dengan waktu yang terbilang  lama. Belasan tahun fiona mengenalnya, bersama dia jika tidak ada reina disampingnya.

Fiona hampir tidak percaya dengan semua itu. Tapi, ia pun tidak bisa menyangkal karena reza mengucapkannya sungguh-sungguh.

"Siang fye, maaf yah lama." Ujar reina dengan senyum mengembang.

"Hm," Fiona bergumam pelan.

"Lo kenapa sih, ngelamun terus. Oh, gue tau, pasti lo galau karena ditinggal sendirian kan?." Reina menyelidik dengan menyipitkan mata dan mencodongkan tubuhnya seolah detektif.

"Apa sih na, gue nggak papa." Fiona mendorong tubuh reina agar lebih menjauh.

"Ya ngapain lo diam aja kayak patung hidup." Reina memutar bola matanya malas.

"Emang salah kalo gue diam?," Fiona melirik reina sebentar lalu membuka novel dan membacanya.

"Au ah, ntar bareng kayak biasanya. Gue ke kelas dulu." Reina mencubit pipi fiona pelan sambil berlalu pergi.

"Bye na," Fiona melambaikan tangan dan tersenyum. Reina pun melakukan hal yang sama.

                            ⭐⭐⭐

"Buruan gih fye," Reina berteriak heboh saat fiona saja baru keluar kelas.

"Iya ih," Fiona mengernyit karena silau.

"Lama," Reina menarik lengan fiona.

"Huft, capek tau." Fiona mengibaskan sebelah tangan karena merasa gerah.

"Fye, maaf ya kita enggak bisa bareng soalnya gue disuruh naik taxi, nih SMS dari mang danu," Ujar reina dengan nada menyesal.

"Santai na, it's oke gue jalan kaki aja," Fiona tersenyum penuh arti.

"Heh bego, naik taxi kek, gojek kek, apa kek," Reina mulai mengomel.

"Yang jalan sini, yang berisik situ. Udah bye nana kuh," Fiona berjalan santai dengan mengedipkan sebelah matanya.

"Bye fye, serah lo dah," Kesal reina.

                             ⭐⭐⭐

Terik matahari dan suhu panas yang meningkat. Tidak heran jika dahi fiona penuh keringat. Memang jarak rumah fiona ke sekolah hanya setengah kilometer dan bisa ditempuh menggunakan mobil atau motor dengan jangka waktu sepuluh menitan saja.

Ntah apa yang merasuki pikirannya, fiona memilih untuk jalan kaki saat berangkat sekolah di pagi hari. Katanya, biar lebih sehat menghirup udara pagi. Dan pulang sekolah ia akan nebeng bersama reina, begitu terus tiap harinya. Padahal, jika meminta di belikan mobil pribadi pada ayahnya pun, itu tidak masalah. Toh, ia termasuk siswi pintar di kelas dan keuangan keluarganya pun bisa dibilang lebih dari cukup.

"Tin tin." Bunyi klakson mobil yang menepi. Si pemilik mobil membuka sedikit kaca mobilnya.

"Fi, bareng yuk," Kata seseorang dalam mobil. Itu suara laki-laki.

Fiona berhenti melangkahkan kakinya, ia menoleh sebentar dan menggeleng.

"Panas, kamu enggak capek?," Tanya orang itu.

Fiona tetap diam. Ia tau siapa orang itu, dia adalah daffa. Kakak kelasnya sekaligus Ketua OSIS di sekolah. Mimpi apa dirinya, sampai ditawarkan naik mobil dan kakak kelas tersebut mengenalnya.

Akhirnya, daffa keluar dari mobil dan menghampiri fiona. Jelas terlihat dari raut wajahnya, fiona bingung ingin merespon apa.

"Masuk fi," Daffa mempersilahkan fiona masuk ke mobilnya. Mau tidak mau, fiona masuk ke mobil daffa. Tidak ada yang salah kan kalau dia ditawari naik mobil mewah. Gratis pula.

"Kenapa jalan kaki sendirian?," Daffa bertanya dengan tatapan lurus ke depan.

"Udah biasa," Ucap fiona. Jujur, ia gugup sekali karena ini pertama kalinya ia bersama seorang pria. Satu mobil pula.

"Hm. Kak, tau alamat rumah aku dari mana?," Seketika daffa menoleh. Refleks ia terkekeh pelan.

"Sering lewat sini kok, sering liat kamu di daerah sini juga," Daffa berujar lembut. Ya, suaranya memang begitu. Pelan dan santun.

'Boleh nggak sih fio baper pa, ma. Ini orang datang tiba-tiba buat anak kalian meleleh sekaligus baper, tapi nggak tinggi amat sih.' racau fiona dalam hati.

"Udah blok sini, rumahnya di sebelah mana?," Tanya daffa. Ia mendapati fiona menunduk. Ekpresi wanita itu susah di tebak. Mungkin saja semua wanita susah di tebak.

"Oh. Maaf kak, itu di sebelah situ. Yang pagarnya warna biru muda," Fiona menunjuk sebuah rumah lantai dua yang cukup mewah.

"Disini?," Daffa memastikan.

"I-iya. Makasih ya kak," Ucap fiona dan dibalas anggukan oleh daffa.

Fiona pun turun dari mobil daffa. Tentu saja ia senang, tak percaya, hingga bingung dengan semua terjadi hari ini.

"Makasih kak," Sekali lagi fiona mengucapkan terima kasih. Ia berdiri di depan pagar rumahnya.

"Sama-sama," Daffa tersenyum tipis, hampir tidak terlihat bahwa ia tersenyum.

Daffa melirik kaca spion sebentar, melihat fiona yang sudah tidak ada di posisinya yang tadi, lalu memajukan mobilnya dengan kecepatan maksimum.

Tinggalkan jejak sebelum benar-benar beranjak.
Jangan lupa vote and comen nya yah:)

See you next chapter:)



Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang