Prolog

27 4 4
                                    

Hari ini sama seperti beberapa hari sebelumnya. Liburan semester dua telah usai. Sekarang, fiona sudah memasuki kelas XI, tentunya mendapat kelas baru namun tidak ada yang berubah. Sedikitpun. Ia memasuki sebuah gedung yang jika dilihat dari luar seperti gedung sekolah elit, SMA Harapan Jaya namanya. Itu adalah sekolah yang mungkin saja diperuntukan bagi anak yang memiliki ekonomi keluarga menengah sampai keatas.

Tampilan nya saat ke sekolah sebagai seorang siswi pun sederhana saja. Yaitu mengenakan rok lipit selutut berwarna cream, lengkap dengan jas almamater berwarna navy. Mukanya yang pucat, bibir kering pecah-pecah, dan rambut yang dibiarkan tergerai. Nyaris seperti mayat hidup.

"Tali sepatu."

Sontak, fiona hampir saja jatuh tersungkur di karenakan mendapat teguran yang sama, selama tiga hari berturut-turut. Ini kali keempatnya. Ketika ia baru saja melewati loby dan ingin menapaki beberapa anak tangga, menuju lapangan basket.

fiona menatap nanar ke depan, melihat pria yang baru saja menegurnya, bahkan beberapa kali sebelumnya. Mungkin saja itu pria yang sama. Punggung pria itu semakin menjauh. Menyisakan beberapa pertanyaan tanpa jawaban.

'Siapa dia?apakah dia selalu memperhatikan ku?ataukah ini hanya kebetulan?.' puluhan pertanyaan hinggap di otaknya. Hingga, terdengar langkah kaki seseorang makin mendekat.

"Ngapain jongkok?," Reza bertanya. "Nggak apa-apa," Fiona menjawab dengan suara yang hampir tidak didengar oleh reza.

"Ck. apa perlu gue yang ikatin tali sepatunya?," Ia bertanya lagi. Dan langsung dijawab menggunakan nada dingin. "Gue bisa sendiri," Lanjutnya lalu meninggalkan reza sendirian. Menyisakan seulas senyum tipis, yang biasa dilakukannya saat lagi-lagi fiona mengabaikannya.

                           ⭐⭐⭐

Kini, fiona duduk sendirian di taman belakang sekolah. Tempat favorit di sekolah yang sering ia kunjungi, selain ruang musik.

"Fye, reina mana?," Tanya reza sambil mendudukan dirinya pada sebuah kursi kayu di taman. Berdampingan dengan fiona.

"Reina di perpustakaan, katanya dia ada tugas." Fiona berujar dengan nada ketus. "Ouh," Reza ber-oh ria lalu manggut-manggut.

"Gue bisa ngomong sesuatu sama lo nggak?," Reza bertanya dengan mata yang tak lepas dari fiona. "Langsung aja," Fiona menjawab sambil sesekali mengedarkan pandang ke seluruh penjuru taman.

"Sebenarnya gue suka sama lo fye," Reza akhirnya membuka suara, dan berseru lantang.

"Gue nggak salah denger kan za?," Tanya fiona sambil menoleh menatap reza dengan tatapan tak percaya sekaligus terkejut.

"Lo nggak bohong kan za?," Lagi. Fiona bertanya padanya.

"Nggak fye," Reza menggeleng lemah.

"Kenapa?"

"Apa?"

"Kenapa harus gue yang lo suka?," Fiona hampir meneteskan air mata.

"Karena gue pengen lebih dekat sama lo fye, selain sebatas sahabat," Reza menundukan pandangan.

"Emang enggak ada cewek lain, selain gue?," Fiona merasakan tenggorokannya kering, ia tidak bisa berfikir lebih jauh lagi sekarang.

"Gue enggak bisa za," Ia berucap lirih, bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan taman dengan langkah gontai.

Reza mematung. Sama seperti fiona, tidak bisa berfikir jauh untuk beberapa saat ini. Sebuah kesalahan terbesar jika ia harus berani mengungkapkan perasaan pada fiona, sahabat sekaligus adik kelasnya.

See you next chapter:)

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang