Pukul 05.30. Fiona sudah siap dengan seragam lengkap beserta rambut yang dikuncir rapi. Ia melihat pantulan dirinya di cermin sebentar, pucat seperti biasanya. Hanya saja, bibirnya yang berwarna pink terlihat indah tanpa pecah-pecah.
"Ke sekolah sepagi ini sist?," Tanya Fano saat fiona menuruni tangga menuju meja makan.
"Iyalah,"
"Sama siapa?," Fiona menoleh mendengar perkataan fano.
"Sendiri," Jawab fiona sambil mengunyah roti lalu meneguk susu coklat kesukaannya.
Fiona beranjak dari tempat duduknya. Ia ingin memajukan langkah, namun melihat fano yang terlihat seru bermain game di ponsel. Munculah ide untuk mengerjai fano. Ia mendekati fano lalu menarik rambut fano sekuat tenaga dan berlari sekencang mungkin karena fano pasti akan mengejarnya.
"MAMA!!." Teriak fiona histeris saat fano menarik ranselnya.
"Kena lo, hahaha," Fano tertawa licik.
"Apaan sih fan, tadi tuh tangan fi kelepasan buat narik," Fiona kesal, pasalnya fano terus menarik ranselnya.
"Minta maaf dulu mangkanya," Fano bersedekap.
"Iya maaf,"
"Yang ikhlas,"
"Maaf ya bang,"
"Senyumnya mana?,"
"Kok ribet sih, kapan ke sekolahnya," Kesal fiona karena fano balik mengerjai nya.
"Yaudah sono." Usir fano.
Baru saja fiona ingin keluar rumah, terdengar Santi memanggilnya dari arah taman depan rumahnya.
"Kenapa ma?," Fiona mencium punggung tangan Santi.
"Itu ada teman kamu di depan,"
"Fi enggak lagi ada janjian sama teman kok ma,"
"Terus itu siapa?," Santi menaikkan satu alis.
"Ntahlah," Fiona mengangkat kedua bahu. Ia juga tidak tau siapa yang datang menjemputnya di rumah pagi ini.
⭐⭐⭐"FYE," Reina meneriaki namanya tepat di telinga kanan. Suara reina entah kenapa makin cempreng.
"Na, kenapa jemput?,"
"Biar enggak sendirian terus,"
"Berdua tuh,"
"Mana?,"
"Bego, itu mang danu enggak di hitung?,"
"Ish, oiyah lupa," Reina menepuk jidat sambil nyengir.
"Yuk," Ketus fiona masuk ke dalam mobil reina.
Dalam pikiran reina, fiona memang susah di tebak. Lebih tepat nya misterius. Ia jarang melihat fiona terseyum apalagi tertawa terbahak-bahak. Rasanya tidak mungkin bagi seorang fiona untuk bersikap heboh. Heran juga, siapa yang akan menjadi alasan fiona untuk tersenyum. Semoga saja orang itu adalah yang terbaik, jika memang dirinya cukup tidak baik sekarang ini. Reina membatin.
"Fi, tolong pegangin ini dong," Reina menyodorkan sebuah buku.
"Nih cepetan, gue mau ikat rambut dulu,"
"Iya,"
Beberapa menit kemudian mobil mereka sampai tepat di halaman SMA harapan jaya.
Reina dan fiona jalan beriringan memasuki loby. Mereka tidak terlalu banyak bicara karena bisa jadi mood fiona tidak baik saat ini.
⭐⭐⭐
Jam kosong mungkin merupakan surga bagi anak SMA. Tidak menutup kemungkinan untuk jurusan IPA sekalipun.
Fiona menelungkupkan kepala ke dalam tas, ia tidak sanggup jika harus mendengar keributan yang kian meraja lela.
"Duhai senang nya pengantin baru, du du du," Suara berat rafi menggema beserta iringan pukulan meja oleh angga.
"Ganti lagu woy, enggak enak banget sih," Teriakan aulia sukses membuat kelas yang semula sudah ribut malah tambah ribut.
"Ini udah enak,"
"Enggak,"
"Yaudah lo sendiri aja yang nyanyi,"
"Ish," Aulia akhirnya mengalah.
"Man teman akuh, ayo kita belajar tari yuk, siapa tau dipilih buat nyumbang acara kondangan kan lumayan," Karin tersenyum lebar dengan ide yang baru saja ia berikan.
"Emang lo pikir ini acara qasidahan apa?," Aulia dan rafi menyahut bersamaan.
"Lo berdua apaan sih, orang ngasih ide bukan nya terima baik, malah sok ngereceh," Karin membuang muka, mengibaskan rambutnya berlalu pergi begitu saja.
Kelas IPA tapi berasa IPS, inilah fakta yang ada. Ribut, kurang kerjaan, suka buat ulah, suka dengan seenaknya melanggar peraturan.
Fiona tidak habis pikir dengan kelakuan teman-temannya yang kelewat kurang normal.
Kegiatan yang mereka lakukan di sekolah seperti berada di taman kanak-kanak, yaitu belajar ketika ada guru dan bermain pada jam kosong. Padahal, sudah diberitahukan untuk mengerjakan tugas.
Batas kesabaran fiona habis sudah. Ia tidak bisa berlama-lama di kelas ini, bisa-bisa dirinya akan pingsan 10 menit lagi jika tidak segera keluar dari kelas sialan ini, namun masih fiona sayangi juga.
⭐⭐⭐
"Oi ketos."
Daffa menoleh ketika ia merasa sedang dipanggil seseorang.
"Mau kemana lo?," Tanya orang itu.
"Ke ruang musik, ambil gitar buat praktek seni budaya nanti." Jawab daffa.
"Bukan nya guru-guru lagi ada rapat?," Orang itu bertanya lagi.
"Iya, tapi setelah rapat, kalo enggak pulang, paling KBM berjalan seperti biasa. Lagian, ini baru jam 9 pagi," Ujar daffa.
"Yaudah, perlu bantuan gue enggak?,"
"Enggak usah rez,"
"Iya deh, gue duluan ya fa,"
Daffa mengangguk pelan sebagai jawaban.
Orang yang berbicara dengan daffa tadi adalah reza-- wakil ketua OSIS SMA harapan jaya.
Teman terdekat daffa, sekaligus partner Olimpiade sains.
Sesampainya di ruang musik. Sayup-sayup daffa mendengar suara alunan petikan biola, menyayat hati siapa saja yang mendengarkannya.
Daffa ragu apakah ia harus membuka pintu dan masuk, ataukah menunggu sampai orang yang ada di dalam menyelesaikan permainan biolanya.
Akhirnya daffa memutuskan untuk membuka sedikit pintu. Itu seperti seseorang yang daffa kenal.
Tunggu, wanita pemain biola dengan rambut yang tergerai indah itu tidak lain dan tidak bukan adalah fiona.Daffa sangat yakin dengan naluri nya yang menangkap bahwa itu benar-benar fiona.
Tinggalkan jejak sebelum benar-benar beranjak.
Jangan lupa vote and comen nya yah:)See you next chapter:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rasa
Teen FictionIni kisah si wanita penyuka malam dan keheningan. Ia tidak sedang terjebak dalam friendzone. Tidak. Hanya saja, sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya terjadi. Berada dalam pilihan sulit, di antara kedua pria tampan, kaya, dan memiliki posisi pe...