Dua: Brother

14 2 1
                                    


Semua yang mudah diucapkan
Belum tentu mudah dilakukan
______________________________________

Fiona masuk ke dalam rumahnya. Ia melihat ayah dan ibunya sedang bersantai sambil nonton TV berdua di ruang keluarga. Tumben sekali papa pulang kerja pada jam segini, pukul 14.30.

"Assalamu'alaikum pa, ma," Sapa fiona lalu mencium punggung tangan Santi dan fadli.

"Wa'alaikumsalam sayang," Santi tersenyum ramah.

"Tumben papa pulang siang," Celetuk fiona langsung menyambar keripik kentang di atas meja.

"Emang nya enggak boleh pulang siang fi?," Tanya fadli menaikkan sebelah alis. 

Fiona mengerucutkan bibirnya. Selalu saja begitu, ditanya malah bertanya balik. Membuat dirinya sedikit kebingungan.

"Papa ih, yaudah fi masuk ke kamar dulu ya," Ia pamit dengan sedikit berteriak ketika hendak menaiki beberapa anak tangga ke kamar.

                             ⭐⭐⭐

"Ceklek," Bunyi pintu terbuka. Menampilkan sesosok pria tentunya. Fiona mengerutkan kening, mundur beberapa langkah.

Terlihat sesuatu yang menggantung di atas pintu kamar. Itu adalah sebuah stiker love berwarna pink dan bunga matahari. Kesukaan fiona, melambangkan ciri khasnya.

"Bangun woy," Fiona menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuh orang itu.

Ia begitu terkejut melihat puluhan novel tergeletak berserakan di atas tempat tidurnya.

Orang itu lantas bangun dan berdiri, menguap, lalu mengucek mata beberapa kali. Seolah-olah ia sudah tertidur semalaman disana.

"Ngapain sih masuk kamar orang sembarangan," Celetuk fiona sambil memungut beberapa novel yang berserakan.

"Pengen aja," Ujar fano lalu duduk di kursi belajar, samping ranjang milik fiona.

"Ish, dasar kepo."

"Lo sama aja ya, dari dulu sampe sekarang enggak ada bedanya,"

"Maksud lo apa hah?,"

"Udah gede, masih alay. Heran gue."

"FANO!!" Fiona berteriak cukup keras. Fano selalu membuatnya naik darah. Ucapan Fano yang to the point dan menusuk. Kesal sekaligus heran jika fiona ngobrol atau bersantai berdua dengannya.

Fano adalah kakak laki-laki satu-satunya yang fiona punya. Hampir semua kesamaan fiona peroleh dari fano. Mulai dari bentuk wajah, bibir, alis, iris mata yang berwarna hijau abu-abu hingga warna rambut. Mereka lahir di bulan yang sama. Selang beberapa hari saja. Tetapi di tahun yang berbeda.

Jangan heran jika fiona suka mengikuti beberapa hal yang disukai sang kakak.
Namun, sifat mereka bertolak belakang. 180 derajat mungkin.

Fano yang memiliki paras tampan, tetapi tidak pernah menjaga ucapan ketika berbicara. Bukannya tidak sopan, hanya saja ia sering blak-blakan. Selalu sembarangan. Dan yang pasti, ia murah senyum, tampak memesona.

Berbeda dengan Fano. Fiona memang memiliki paras cantik bahkan melebihi kata cantik. Fiona lebih menjaga ucapan ketika berbicara. Singkatnya, menyaring kata-kata sebelum berbicara. Ia kelewat ketus atau dingin saat berkenalan dengan orang baru, yang tak ia kenal sama sekali. Sopan tapi terkesan kasar untuk ukuran orang ramah.

"Fi. Nih buat lo, gue bawain khusus dari Liverpool," Fano memberikan sebuah jaring penangkap mimpi, yang katanya jaring tersebut akan menangkap mimpi baik saja.

Setelah menutup lemari bukunya, fiona beranjak menerima penangkap mimpi.

"Makasih fan, baik banget sih," Ketus fiona saat ia tengah memasangkan penangkap mimpi pada ujung balkon kamar.

"Iya, sama-sama. Gue tempel ini disini ya fi," Fano berdiri menuju lemari buku milik fiona dan menempelkan stiker lambang bendera Inggris disana.

Kamar fiona penuh dengan puluhan stiker, dari stiker dinding, lemari, bahkan pintu yang terbuat dari kaca. Pembatas antara kamar dan balkon.

Fiona menoleh dari balkon kamarnya, melihat warna cat kamar yang tak pernah di gangti sejak dua tahun lalu. Sebelum Fano memutuskan kuliah di liverpool, Inggris.

Kamar fiona berwarna pink cerah. Terdapat poster besar bergambar lambang club bola, liverpool. pada bagian tengah kamar, tepat diatas ranjang.

Mirip dengan poster yang ada di kamar Fano. Itu alasanya Fano cukup betah berada di kamar fiona. Ketika ia jenuh di kamar nya sendiri.

"Fi, lo masih sahabatan sama reza?," tanya fano sambil berjalan menuju balkon.

"Tadi dia tembak fi,"

"Diterima nggak?,"

"Ya tolaklah,"

"Heh bego, sok nolak. Ujung-ujungnya nyesel," Semprot Fano.

"Lo enggak tau sih gimana terkejut nya gue pas dia tiba-tiba ungkapin rasa ke gue," Ujar fiona kembali mengingat kejadian beberapa saat lalu.

"Gue udah tau." Refleks, fiona menoleh dengan mengangkat sebelah alis seolah bertanya 'apa'.

"Beberapa hari lalu reza nelpon gue, katanya dia mau nembak lo,  dan gue sih cuma bilang semoga sukses," Lanjut Fano.

"Hh, fi enggak suka sama reza bang, enggak pernah, bahkan sedikit pun," Fiona kembali menatap ke arah bawah balkon.

"Segitu enggak sukanya lo sama reza?," Ia tidak habis pikir dengan kelakuan adiknya, menolak tanpa berpikir panjang.

"Bukan nya enggak suka, lebih tepatnya fi enggak ada rasa buat reza bang," Fiona memejamkan matanya sebentar lalu tiba-tiba mendongak mendengar ucapan singkat Fano.

"Semua enggak bisa dipaksakan. Lo berhak atas rasa yang lo punya. Apapun yang lo putuskan, abang dukung selama itu hal baik," Ujar Fano tersenyum sesaat ia keluar dari kamar fiona.

Tinggalkan jejak sebelum benar-benar beranjak.
Jangan lupa vote and comen nya yah:)

See you next chapter:)








Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang