Moments 11

367 16 0
                                    

Sakura Fujiwara

 

 

“Senang bertemu denganmu, Sayang.”

Eh? Suara ini... sepertinya aku mengenalnya.

“Zia pasti sudah aman bersama teman-temanmu.”

“Bagaimana dengan Prisil?”

“Prisil? Siapa Prisil?”

Apa-apaan ini? Mengapa dia berlagak tidak mengetahui siapa Prisil? Bukankah dia yang menculik Prisil!?

“Ah...” Dia membalikkan kursi yang membuatku tak bisa menebak siapa dia. Dan saat ia berbalik, aku kaget bukan main. “Dia pacar Badai.”

Aku berharap lebih baik aku dibunuhnya sekarang juga atau lebih baik aku lupa ingatan saja. Mataku rasanya akan keluar dari tempatnya. Bagaimana kenyataan ini begitu saja mengejutkan? Kenyataan yang paling membuatku merasa bersalah.

“Ada apa?” tanyanya dengan nada bingung. “Kamu kaget?” Lalu dia tertawa seakan-akan melihatku kaget adalah hal yang paling ia inginkan. “Kamu tahu, rasanya sakit melihatmu masih saja menyukai orang yang telah mencampakkanmu.”

“Di mana Prisil?” Gigiku gemeretak menahan emosi juga air mata yang mungkin bisa terjatuh kapan saja.

“Bukan aku yang menculiknya.” Dia berkata dengan enteng, lalu berdiri dari kursinya. Kakinya berjalan ke arahku dan berhenti tepat di ujung kakiku. “Penculikkanmu juga bukan aku yang melakukannya.”

Aku menatapnya tak percaya. Dia benar-benar bisa menyembunyikan semuanya selama ini? Bagaimana bisa penculikkanku tidak terdeteksi oleh kepala sekolah dan juga kepolisian? Bagaimana dia bisa sepintar itu?

“Tentu saja. Aku tidak akan melukai orang yang kucintai.”

Cuih! Rasanya aku ingin menggeboknya sekarang juga. Tapi aku tahu, aku takkan bisa melawannya. Anak buahnya banyak dan aku tidak tahu harus melawan dengan cara apa.

Di depan pintu gedung tua memang tidak ada penjaganya. Itu karena akan mencolok warga setempat. Tapi saat aku masuk ke dalam gedung tua itu, aku menemukan banyak mata yang menatapku seakan-akan aku ini penjahat.

Tapi setelah orang di hadapanku ini mengumumkan bahwa dia yang menyuruhku datang, mereka semua mundur perlahan dan membiarkanku masuk ke ruangan yang penjagaannya lebih ketat lagi. Ruangan ini.

“Ini semua salah anak buahku. Aku minta maaf.” Dia mengucapkannya dengan raut wajah yang dibuat-buat seakan dia menyesal.

“Jadi...” Aku merasakan teggorokanku mengering. Kenyataan pahit yang harus kuhadapi saat ini adalah orang yang ada di depanku. “Mas itu... kamu?”

Dia hanya mengangguk dan tersenyum. “Aku punya segalanya. Seharusnya kamu sadar itu.” Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan menatapku seolah ingin menerkamku. “Bagaimana jika malam ini kamu ke apartemenku? Besok pagi kita pergi ke Jepang bersama.”

“Psycho!” desisku di depan wajahnya. “Kamu melukai orang-orang hanya karena ingin bersamaku!?”

Orang itu menggeleng. “Aku tidak melukainya. Aku juga tidak akan pernah melukaimu. Aku sudah mengatakannya padamu.”

“LALU DI MANA PRISIL SEKARANG!!!!!?”

“Di tangan anak buahku, tentu saja.” Dia berbalik badan dan kembali duduk di kursinya. Matanya masih menatapku dengan lekat. “Aku akan membereskannya jika kamu mau.”

“Apa maksudmu?” Aku kehilangan kesabaranku. Orang ini benar-benar membuatku tak bisa berkutik.

“Penculikanmu, bukan aku yang melakukannya. Aku juga tidak mengirimimu surat ancaman. Itu semua karena obsesi anak buahku yang tolol.” Dia mulai bercerita. Tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen.

UNBELIEVABLE MOMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang