six

4 2 0
                                    

Empat hari berlalu.

Hari ini adalah sabtu yang mendung, angin berembus lembut dan sangat mengundang kemalasan.

Ayam berkokok menandakan sang mentari mulai mengintip malu-malu.

Angin berembus, menyibak-nyibak gorden yang terjuntai lalu mengenai wajah dua kakak beradik yang masih berbaring dengan mata melebar sempurna.

Jeni dan Rena memang libur hari ini, tapi Rena, gadis itu harus mengejar target penjualan.

Jadilah hari ini, hari kencannya bersama Surya sekaligus cari target pembeli.

Sedangkan Jeni? Gadis itu masih malas-malasan dikasur. Dia sama sekali tidak berminat membuka matanya. Tapi, karena dia ingat adiknya harus kerja, jadi dia memutuskan untuk segera bangun dan membuat sarapan.

Rena  sudah rapih, dia segera duduk diruang tamu depan, bersila menghadap sepiring nasi goreng.

"Kak, nasi gorengnya enak. Bang Laka pasti seneng deh kalau di kasih sarapan ini sekali-sekali." Goda Rena sambil memeluk bahu kakaknya yang sedang sibuk mengaduk  susu diet Rena.

Jeni mendelik pada Rena.
Dia tidak suka nama Laka disebut.
"Kamu gak liat tangan kakak masih sakit dek? Jangan digelayutin gini dah... ini susu kamu, cepet abisin" dengkus Jeni.

Ya, Jeni masih belum berbaikan dengan Laka, bahkan dia mengacuhkan Laka.

Laka, lelaki itu sudah empat hari uring-uringan.
Mencoba untuk bertemu dengan Jeni, tapi usahanya selalu sia-sia.
Bahkan setiap malam semenjak pertengkaran mereka, Laka selalu kekosan Jeni, berharap Jeni mau memaafkannya. Tapi, Jeni memang tipikal orang yang cuek dan jika marah dia hanya akan mendiami orang itu.

Rena yang mendapatkan tatapan sinis itu, kian melipir kembali ke posisinya. Dia hanya memasang wajah tanpa dosanya. Duduk bersila sambil tersenyum manis.

Setelah sarapan, Surya datang untuk menjemput Rena.

Rena langsung meraih helm yang diberikan Surya.

Rena berpamitan pada Jeni.
"Kak, Rena pergi dulu. Assalamuallaikum"

"Emm. Hati-hati dek. Waalaikumussalam"

"Pergi dulu kak..." Surya tersenyum pada Jeni.

"Ya, hati-hati ya Ya, bawa anak sultan kamu tu... awas ampe lecet" Jeni terkekeh.

Surya menoleh pada Rena,
"Anak sultan tuan putelinya Surya kak... jadi kalo doi lecet, Surya nikah sama siapa ?" Surya berlagak sedang berpikir, dia mengetuk dagunya dengan jari telunjuk.

"Nikah sama kakak aja?" Tanya Jeni.

"boleh juga tu sarannya kak hahaha, pegi dulu ya kak.. assalamuallaikum" Surya tersenyum manis saat mengatakan hal tersebut.

Rena hanya menatap datar Surya dan mendelik pada Jeni.

Rena, gadis itu merasa lega setelah mendengar kabar dari ibunya bahwa Arsi sudah sembuh.
Meskipun lega, ada terselip rasa bersalah yang akan selalu menghantuinya.

Rasa bersalah karena telah membiarkan adiknya dewasa seorang diri.
Rasa bersalah karena tidak pernah ada saat adiknya membutuhkan.
Rasa bersalah saat adiknya ternyata telah tumbuh sendiri dan mencoba untuk menguatkan dirinya sendiri.

Ya, jarak kelahiran Rena dan Arsi sangat jauh. Sepuluh tahun.
Bukankah itu cukup membuat adik bungsu, menjadi seorang gadis yang merasa menjadi anak tunggal?
Ada masalah tidak bisa bercerita.
Ada beban tidak bisa berkeluh kesah.
Semua ditanggung sendiri.

Kenapa tidak curhat dengan orang tua?
Jawabannya karena umur orang tua sudah sangat tua, dan bisa dikatakan Arsi adalah anak yang tidak diharapkan. Istilah lainnya kebobolan.

Meskipun Arsi adalah anak bungsu, dia dewasa. Meskipun Arsi adalah anak bungsu, untuk hal tertentu yang selagi masih dapat dia tahan dan dapat dia sembunyikan, dia tidak akan mengatakannya.

Jadi, ketika mendengar Arsi sakit. Rena merasa menjadi kakak yang tidak berguna.

Tapi syukurlah Arsi sudah sembuh.

Jeni, gadis itu sebenarnya sedang kebingungan.

Malam ini adalah malam pengumuman pengangkatan jabatan.

Sebenarnya ada rasa senang sekaligus takut.

Senang, jika dia lulus, artinya dia bisa naik jabatan.

Takut, jika dia lulus maka harus terpisah dengan Rena.

"Huftt...." Jeni kembali berbaring dikasur.

Matanya menatap langit kamar kosnya.

"Ya Allah, kok jadi merasa berat banget. Kalau lulus, Rena sendirian disini? Kalau gak lulus, masa hidupku gini-gini aja?"

Jeni memejamkan matanya sejenak, lalu membuka lagi dengan mata memerah.

"Surya." Lirih Jeni.

"Surya harus nikahin Rena!" Ucap Jeni mantap.

"Ya, Rena harus nikah. Dengan itu aku bakalan tenang. Karena aku yakin bakalan lulus dan aku bakalan tenang ninggalin Rena." Bibir Jeni melengkung ke atas dengan mata menyipit.


Drtt....
Ponsel Jeni bergetar kesekian kalinya.
Mencoba meraih ponsel yang tergeletak mengenaskan dibawah bantal, Jeni masih mengatur emosinya.

Tanpa perlu melihat, Jeni sudah tahu siapa yang menghubunginya.

Dan itu sudah yang ke tujuh puluh delapan kalinya.

Kali ini sms yang ke empat puluh tujuh.

Jeni sebenarnya malas melihat ponselnya. Namun, ya, dia juga sedikit penasaran.

Saat membuka ponselnya.

From : MaLaka♡

"Aku mau kita Nikah"

Pupil Jeni melebar sempurna. Mulutnya otomatis menganga dan napasnya seperti tercekat.

The Wrecked JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang