Kartini yang Salah

2.4K 34 4
                                    

Langkah berisik dari badan jalan benar-benar mengganggu. Bau rokok di mana-mana, tatapan mata yang menghujani lorong-lorong sempit perumahan kumuh. Aku marah, kesal dan segala jenis peluapan emosi negatif. Negeri ini amat busuk, sampah-sampah berserakan di jajaran lantai panggung. Panggung akademik, sosial, budaya hingga politik. Tak adakah kata yang lebih dari sarkastis lagi?

Telepon genggamku berdering. Tampilan layar berubah, tertulis sebuah nama di sana. Aku langsung menjawab. "Ada apa?" pertanyaanku tak disambut.

Sang penelepon menghujaniku dengan kalimat perintah. "Tak bisakah kau memulai dengan ucapan Assalamualaikum?" aku tak menganggap itu pertanyaan. Jelas-jelas adalah sebuah kalimat perintah.

Aku melakukan perintahnya. Lalu dia menjawab, "waalaikumsalam." Aku menghela napas lega.

Segala tentang konflik dan pertikaian aku selalu menghindarinya. Menjadi orang yang memiliki beberapa teman, tidak begitu pendiam dan tidak begitu mencolok adalah pilihan yang tepat. Aku ingin masa-masa sekolahku tak bermasalah. Hanya itu.

"Besok aku ke rumahmu. Dan aku harap kau sedikitnya menyingkirkan barang-barang menyeramkan yang menutup semua ventilasi udara," perintahnya sekali lagi. Jelas dia berucap tenang dan tidak memerintah, namun aku sangat peka terhadap ucapannya. Perintah lagi.

Entah apa yang membuatnya menjadi begitu ikut campur akan tentangku.
Aku menggeretakkan gigi-gigiku. Kesal. Rahangku bertautan. "Jangan memerintahku. Kau tidak paham tentang kesukaanku!"

Percakapanku berlanjut dengan debat kecil tak bermakna. Entah bagaimana aku meladeni orang sepertinya. Merepotkan. Dan aku sampai di depan rumahku. Rumah biasa yang tidak istimewa. Gerbang kecil yang hanya cukup jalan untuk sebuah motor, taman dengan ukuran empat kali sepuluh meter dan selain itu tidak ada yang istimewa. Rumah tua dengan dinding terkelupas berwarna biru kusam hampir putih kecokelatan.

"Barang-barang menyeramkan yang menutup ventilasi udara? Ha! Yang benar saja!" gerutuku memerhatikan jejeran lukisan, foto dan beberapa jenis bingkai foto yang seluruhnya adalah tentang Raden Ajeng Kartini. Aku tersenyum. Aku mengaguminya.

Purnama yang kelam lama-lama pudar dipunggungi oleh fajar. Fajar yang merah keperakan mengintip dari balik celah-celah jendela. Matanya riuh menerpa gorden. Silau. Aku perlu membersihkan diri, tindakan jaga-jaga kalau benar gadis itu datang. Rana. Ajeng Kirana. Teman kelasku itu tak pernah jera. Aku tak membencinya. Namun, aku hanya tidak ingin ada yang terlalu memedulikanku, aku tak cukup mampu menampung beberapa kebisingan dalam duniaku lagi.

"Saat di kelas sepuluh kau tidak seperti ini. Berjalan beriringan dengan teman-teman, membicarakan tentang pelajaran dengan antusias dan lebih ceria. Bukankah begitu?"

Rana bicara terus. Benar-benar gadis yang tidak mau menyerah, bukan?
Aku diam. Memerhatikan secangkir teh yang baru saja aku buat. Tak ada yang bisa menyuguhkan hidangan selain aku sendiri. Ayah telah lama meninggal dan ibu selalu bekerja pagi dan pulang larut malam. Setiap hari aku sendirian. Bahkan untuk hari Minggu seperti ini. Ya, selalu seperti. Seperti yang kubilang, tak ada yang istimewa. Kecuali rumah tua bersama bingkai-bingkai menawanku.

"Ini hidup bukan permainan Kartini-Kartini-an, Ni!" selalu seperti ini. Sikapnya yang sok dewasa. Aku lama-lama kesal.

"Dengarkan aku! Kapan aku bilang ini permainan? Aku hanya memberi pelajaran pada wanita-wanita busuk yang tidak pernah menghargai Ibu Kartini! Emansipasi yang bertahun-tahun diperjuangkannya, pendidikan yang diraihnya mati-matian dan kesetaraan derajat dengan lelaki dicampuradukkan seenaknya! Mereka pikir hidup mereka akan seperti apa tanpa Ibu Kartini yang dulu? Ha?!" suaraku parau. Napasku tersengal-sengal. Aku tahu dia tidak akan paham.

Magikó (Kumpulan Cerpen Fantasi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang