Part 1

9.5K 217 1
                                    


"Riri! Cepat kita berangkat ke warung. Mendungnya gelap banget,kaya nya mau turun hujan" seru bapak yang mengagetkan aku memakai hijab.

"Iya pak,sebentar"

Tak lama kamipun sudah sampai di warung soto yang terkenal di kota ku.

Ya,ini lah aku. Aku Riri. Gadis berusia 32 tahun dan belum menikah. Menikah? Hahaha bagiku itu hanya soal menunggu jodoh datang saja. Tidak perlu mengejar bersusah payah,mengirim cv data diri ke jejaring sosial,memajang foto ku di setiap sosial media ku. Tidak perlu!
Aku anak pertama dari empat bersaudara. Adik-adik ku semua lelaki. Aku adalah puteri dari seorang pemilik warung soto terkenal di kota ini,warung kami mempunyai memiliki menu soto andalan yang sangat enak dan banyak sekali pelanggan. Bapak mendirikan warung tersebut sudah lama. Bapak dan ibu lah yang menjadi kemudi utama saat itu. Mulai dari menyewa tempat hingga kini berhasil kami miliki sendiri. Warung kami terletak di tempat yang stategis tepatnya di pusat kota. Jadi,tak heran jika banyak sekali pelanggan yang dengan mudahnya menjumpai warung soto kami.
Sejak aku resign menjadi pegawai swasta aku lah batu tumpuan warung soto itu. Aku yang membuat bumbu,membuat lontong,mengiris bawang,membeli pernak pernik soto dan lain lain. Banyak juga yang memesan soto kami untuk acara di suatu tempat.
Selain soto, warung kami juga menjual sate ayam dan ayam geprek. Kami buka dari jam 4 sore hingga 11 malam.

***

Aku tak pernah minder dengan statusku sebagai "jomblo tua". Aku malah tidak pede jika harus berpacaran. Aku memang tidak pernah merasakan pacaran. Aku tahu itu dosa. Bapak dan ibu juga santai,mereka tidak pernah memburu aku agar aku lekas menikah. Aku menikmati tugasku sebagai seorang anak gadis yang menjadi kepala warung. Aku mengatur segala urusan warung beserta keuangannya.

"Bu,aku belanja dulu kepasar" tukas ku seraya berjalan menuju motor matic ku dan memakai helm.
"Yo. Hati-hati ya" teriak ibu dari dalam rumah.

Aku sudah biasa kepasar sendirian. Aku tidak membeli ayam dipasar,bapak adalah pebisnis handal sehingga kami punya kandang ayam sendiri dan bisa sesuka hati dipotong ketika ingin dimasak. Karyawan kandang bapak lumayan banyak dan di tempat yang berbeda.
Aku kepasar hanya membeli bawang,cabai,daun seledri,daun bawang dan hal-hal kecil lainnya.

"Ah, mba ini. Kan kita udah langganan to? Mosok iyo di kasih harga mahal?" Rayu ku kepada bibi sayur langganan karena beliau menaikkan harga sedikit.
"Yah mba,ini musim hujan. Tanduran (tanaman) pada busuk" kata si bibi sambil menyusun dagangannya.
"Yo wes lah. Tak ambil 30 ikat"

Aku langsung bergegas pergi. Tak lupa aku mampir dulu ke bank untuk mengecek saldo rekening. Malam minggu nanti ada yang mau pesan sate ayam kami lumayan banyak jadi transaksi via bank.
"Alhamdulillah" ucapku dalam hati melihat saldo rekening lumayan besar.
Aku sama sekali tak berniat untuk menyalahgunakan uang warung. Aku di gaji perhari oleh bapak dan itu cukup bagiku.

***

Warung sedang ramai. Ibu tidak berhenti mengipasi sate-sate dibantu adikku yang paling besar. Kedua adikku yang lain tidak diperbolehkan bapak untuk kewarung jika malam,mereka harus konsentrasi belajar dirumah. Aku yang sibuk mengirisi lontong dan bapak menuang kuah soto. Kami berbagi tugas secara fleksibel. Lumayan membuat badanku penat karena harus mondar-mandir meja ramuan ke meja pengunjung.

Jam menunjukkan pukul 10 lewat 15 menit malam hari. Alhamdulillah dagangan kami ludes malam ini.

***

Ddrrrtt... Ddrrrttttt....
"Ey,jadi kerumah gak hari ini?" Ku lihat ada WA dari Tina teman semasa SMK ku dulu dan sampai seakarang masih akrab seperti saudara.
"Ya,jadi in syaa Allah jam 9an pas aku pulang dari samsat yo" balasku.
"Tolong belikan ayam separo ya. Hehe maklum jauh dari pasar"
"Iya iya in syaa Allah" balasku lagi.
Tina adalah sebayaku dengan 3 orang anak yang masih kecil dan suaminya bekerja jauh sebagai buruh kapal dilaut.

Hari itu cerah,aku segera berangkat menuju samsat untuk membayar pajak motor.
Sepulang dari samsat,aku pun singgah kerumah Tina dan membawakan ayam pesanannya.

Cukup lama kami mengobrol. Ya,hanya sekedar mengobrol ngalor-ngidul saja cukup membuatku plong.

"Suamiku punya kenalan cowok. Dia kerja di tambang daerah Tanjung. Umurnya 30tahun,kalo kamu bersedia,nanti aku kenalin ke kamu atau aku suruh aja dia kerumah kamu" kata Tina.
Entah mengapa saat itu aku mengiyakan tawarannya dengan dia datang kerumahku.
Sepulang dari rumah Tina sepanjang jalan aku memikirkan bagaimana cara mengatakannya kepada bapak ibu kalau ada lelaki yang datang? Selama ini mereka tahu kalau aku tidak pernah punya teman lelaki. Ah,lihat nanti sajalah pikirku.

2 bulan setelah itu. Dia benar-benar datang kerumah. Kami tidak pernah mengenal sebelumnya. Kami selalu dihubungkan dengan Tina dan suaminya. Perawakan tinggi gagah dengan jambang tipis,memakai sepatu khas karyawan tambang dan rompi karyawan tambang. Rupanya dia mau berangkat ke Tanjung dengan pakaian lengkap. Dia orang asli di kota ku. Jarak kota ku dengan Tanjung itu 3 jam perjalanan.

"Siapa namanya?" Kata bapak sambil menghidupkan rokok beliau. Ibu sedari tadi didapur bersamaku.
"Saya Satrio pak. Teman Riri" jawabnya santun. Ketahuan dari logatnya berbicara dia adalah keturunan Jawa.
"Oh,mau saya panggilkan?"
"Tidak pak. Saya mau berbicara dengan bapak"
"Loh ada apa ya?" Bapak penasaran.
"Bolehkah saya meminang Riri untuk menjadi istri saya?" Kata-kata yang membuatku gugup. Aku dan ibu menguping dari dapur. Sungguh gugup.
"Loh,kita kan baru ketemu. Baru juga sekali belum sehari kamu disini sudah mau meminang anak saya" jawab bapak agak ketus.
"Maaf sebelumnya pak. Saya dan Riri dikenalkan oleh teman saya Fabil dan Tina. Semenjak 2 bulan lalu. Kami memang tidak pernah chat pribadi,kami chat melalui Tina ataupun Fabil. Entah mengapa saya tertarik dengan Riri"

Ibu langsung bergegas keluar dari dapur dengan menyorkan air minum untuk Satrio.
"Bu" kata Satrio sambil mencium tangan ibu.
Ibu hanya diam.

"Rumah kamu dimana?" Ujar ibu yang duduk disamping bapak
"Rumah saya di Alur,bu. Saya anak pertama dari 2 bersaudara. Adik saya masih sekolah SMA" jawabnya tegas.
Jujur aku merasa bisa saja dengan pria ini. Tidak ada rasa tertarik atau apapun. Seperti pria lainnya.
"Ah,saya belum berani menyerahkan Riri kepada orang yang belum kami kenal dekat sebelumnya. Jadi mohon maaf" ringkas bapak. Ibu mengangguk.
Mereka tampak berbincang basa-basi kecil. Ku lihat Satrio sambil menyeruput teh hangat buatan ibu.
Aku tak berani kelur dari dapur. Karena aku sudah tahu jawaban bapak dan aku merasa ini adalah internal mereka. Lalu Satrio pulang mungkin dengan perasaan kecewa.

***

Berhari-hari berlalu aku sudah melupakan lamaran sia-sia itu. Itulah mengapa aku percaya bahwa jodoh itu nantinya akan datang sendirinya. Sudah berkali-kali sahabat ku menyodorkan pria-pria tampan untuk ku. Tapi lagi-lagi selalu gagal dimata bapak dan ibuku. Aku tidak bisa berbuat banyak.

"Ri,berapa lagi satenya yg harus dibakar?" Kata ibu sambil tetap mengipasi sate ditungku.
"25 tusuk lagi,bu" jawabku sambil menghitung pesanan orang-orang yang kelaparan itu.
Ibu bergegas mengipasi sate. Bapak masih asyik mengobrol dengan temannya sambil merokok.

Bersambung

Mendulang Bahagia Ditengah NestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang