#Mendulang_Bahagia_Ditengah_Nestapa
Part 5Perutku sudah mulai membuncit, aku masih dengan aktifitas di warung. Mas Aziz yang pura-pura baik didepan orangtuaku, ingin ku ludahi saja wajahnya yang 'sok' polos itu.
Warung kami mendapat pesanan yang lumayan mewah dari sebuah kantor polisi dikota ku. Mereka punya hajatan besar nampaknya.
Tentu saja kami mempersiapkannya jauh-jauh hari. Mas Aziz membantu bapak memotong ayam dikandang. Aku bersama ibu dan adikku membuat racikan bumbu soto dan sate. Entah kenapa ayam geprek kami tidak begitu laku.Saat ingin membakar sate, Mas Aziz yang menyalakan api ditungku arang besar.
"Halah, kok susah banget sih ni api gak nyala-nyala?" Katanya marah seraya mengipas-kipas arang yang entah belum menyala juga.
"Sabar to, mas." Ucapku yang sedari tadi menusuk daging ayam ke lidi.
"Sabar sabar!! Aku ini cuma dijadikan jongos saja dikeluargamu. Pokoknya aku mau kita bubar!!" Tangkasnya lagi.
Aku terperanjat. Aku hanya bisa diam dan istigfar.
Hari itu berlalu. Aku mencoba melupakan perkataannya itu yang membuatku setengah mati mendengarnya.***
"Ziz, tolong serviskan motor bapak. Cepet ya, jangan buang waktu. Nanti setelah itu kita ke kandang."
"Iya pak."Percakapan antara bapak dan menantu diruang tamu yang tidak sengaja ku dengar dari dalam dapur. Aku masuk kedalam kamar diikuti oleh Mas Aziz.
"Loh, kok malah tiduran, Mas? Bukannya tadi disuruh bapak buat servis motor?"
"Ah, aku bener-bener dijadiin jongos aja disini. Aku capek, dek!! Suruh aja bapakmu itu yang nyervis sendiri. Enak saja nyuruh-nyuruh orang terus. Aku udah gak tahan lagi, dek. Aku mau cerai!!"Deg !!
Bagai tamparan dipagi buta. Kata kedua yang kudengar. Benarkah? Tolong jangan sampai yang ketiga kalinya, Mas. Pintaku dalam hati.Mas Aziz kembali pamit untuk bertolak ke Teweh menemui Pak Rifai. Mungkin untuk membahas uangnya yang hilang itu.
Sehari sampai seminggu lebih Mas Aziz berada di Teweh, tak kunjung pulang. Tetapi tak sedikitpun rasa khawatir didadaku untuk Mas Aziz.
Aku tetap mengurus warung dengan kondisi perut yang sudah membuncit 4 bulan. Mas Aziz tetap saja meminta transferan uang untuk biaya makannya di Teweh. Aku menurut saja. Aku sadar bahwa aku hanya diperalat, namun aku turuti saja. Paketan Barang-barang 'branded' sampai dirumah atas nama Mas Aziz. Ya Allah, ingin rasanya kubuang semua benda-benda tak penting ini. Inikah hasil kerja kerasku selama ini?Handphonenya setiap hari minta diisikan pulsa. Meminta dibelikan jajan layaknya anak kecil yang merengek pada ibunya.
Pulang dari Teweh, Mas Aziz terlihat kelelahan. Wajahnya suntuk dengan kondisi rambut acak-acakan.
"Ziz, ayo bantu bapak dikandang." Kata bapak dari dalam mobil pick-upnya memanggil Mas Aziz yang baru saja tiba dirumah.
"Sebentar Pak, ganti baju dulu." Mas Aziz masuk kedalam kamar.
"Tuh kan, bapakmu itu memang tidak tahu diri! Aku ini baru datang sudah disuruh-suruh. Aku bener-bener capek, dek! Aku ingin kita bubar saja!"
"Astagfirullah, Mas! Istigfar! Kamu sudah ucapkan tiga kali, eling mas eling!" Bujukku sambil menangis. Mas Aziz meninggalkan aku menangis begitu saja didalam kamar. Aku menangis tersedu, mengingat semua perkataan Mas Aziz kepadaku.Tidak ku sangka, rupanya ibu mendengar percakapan kami didalam kamar. Ibu datang kepadaku, aku langsung menyeka air mataku.
"Nduk, ada apa ini? Kenapa Aziz sampai mengeluarkan kata-kata itu?" Ibu mengelus rambutku.
Aku ceritakan semua.
"Ya sudah, nduk. Jangan bilang bapakmu ya? Nanti bapakmu marah. Ibu malu sama orang-orang kalau kalian sampai cerai"Deg !!
Ibu tidak membelaku?
Ya Allah, begitu sayangnya kah ibu pada Mas Aziz?Beberapa hari kemudian.
Kami mendapatkan pesanan soto yang banyak dari salah satu petinggi kota ini. Kami bergegas berangkat menuju tempat acara dengan peralatan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Acara yang diselenggarakan berhari-hari memaksa kami untuk selalu siap sedia setiap hari. Warung kami tutup sementara ada acara ini. Mas Aziz terlihat biasa saja setelah mengucapkan kata-kata terlarang itu. Seperti tak terjadi apa-apa aku dengan Mas Aziz, kami masih berteguran.
Setelah acara itu, kami semua kelelahan sehingga warung kami tutup satu hari lagi untuk istirahat."Mas,gimana uangnya Pak Rifai?" Tanyaku sambil melipat baju yang sudah kering dari jemuran.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendulang Bahagia Ditengah Nestapa
Non-FictionKisah Riri gadis 32 tahun yang belum menikah dan dijodohkan dengan pria yang tidak ia cintai. Akankah Riri bahagia? Apakah itu pria yang dicintainya?