13. Hujan

1.1K 198 23
                                    

NAPAS INI

13. HUJAN




Wonwoo benci Mingyu yang cerewet dan menceramahi hobinya. Ia merasa baik-baik saja dengan hobinya tetapi Mingyu yang keras kepala selalu menentangnya. Kini Wonwoo berpikir, mengapa dia bisa menjalin kisah dengan pria bertaring itu?

“Bawa payungmu Wonwoo.”

Wonwoo mendengus, berpura-pura tidak melihat payung merah yang disodorkan. Sibuk membenahi kemejanya dan beberapa file yang sudah dia kumpulkan di sebuah map plastik. Bersiap untuk berangkat kuliah.

“Woo, aku serius, bawa ini.”

“Memang aku sudah berangkat? Aku masih harus bersiap Kim, jadi jangan memaksa!”

Mingyu menghela napasnya, prianya ini suka sekali dengan hujan. Bukan sekali dua kali dia memergokinya berhujan-hujanan, tapi entah mengapa Wonwoo jarang mengeluh demam atau flu. Luar biasa.

“Jangan karena kau tidak ada jadwal kau bisa mengaturku ya, aku lebih tua darimu.”

Mulai.

Wonwoo membawa-bawa usia mereka yang memang sialnya lebih muda pria Kim dibanding Jeon.

“Aku tidak ingin kau sakit.”

“Dan apa aku pernah mengeluhkan itu? Mingyu aku bahkan bukan anak-anak.”

Mingyu mengangguk, lelah dengan debatnya. “Aku ada pekerjaan di rumah Seokmin, jadi aku harap kau membawa payungmu tanpa alasan apapun.”

Wonwoo mendesis, berpikir untuk lari dari amukan Mingyu. Jika Mingyu keras kepala maka dia lebih bisa keras kepala juga!

Yang lebih muda mendekat, menggapai bahu submisifnya sebelum mencium lembut keningnya, pelipisnya, juga kedua pipi dan bibirnya. “Aku berangkat ya?”

Meski hatinya diliputi rasa kesal, tak ayal pipi Wonwoo memerah malu. Dia memeluk Mingyu erat seolah tidak akan bertemu, ya memang mereka tidak akan bertemu disuasana seperti ini lagi melainkan suasana marahnya seorang Mingyu.

“Hati-hati, jangan lupa makan siang.”

Jemari besar Mingyu mengusap rambut kelam Wonwoo. “Bisa kau ingatkan aku makan siang nanti? Menelponku mungkin?”

“Aku berharap baterai ponselku baik-baik saja.”

“Dan jangan mencoba untuk menerobos hujan jika tidak ingin aku marah.”

Wonwoo adalah cerminan orang yang cari mati, jadi dia mengangguk. Dia ingin sekali kekasihnya marah, entah alasannya apa. Dia bilang Mingyu lucu jika marah, bukan style Mingyu yang sangat bisa menahan amarah, hingga karena Mingyu terlihat lebih manly saat marah. Dasar aneh.

“Aku mencintaimu Wonwoo. Sampai jumpa nanti sore.”

Akhirnya, sepasang sepatu itu berhasil dipijaki kaki jenjang Mingyu, melangkah mantap meninggalkan apartemen sederhana mereka berdua. Meninggalkan juga seorang Wonwoo yang cekikikan melihat payung merahnya, menarik laci dan meletakkannya di sana.

“Aku berharap hujan besar akan turun.”


*****



Map yang ada dalam tasnya sudah diamankan, berbahan plastik anti air, ditambah tasnya yang juga anti air membuat Wonwoo senang luar biasa. Hujan turun deras meski tanpa angin besar, hanya tetes air yang besar-besar hingga sakit mengenai kulit tangannya.

Dia menelepon Mingyu beberapa puluh menit lalu, mengatakan bahwa dia sudah selesai dengan kelasnya dan akan menjemput Mingyu untuk pulang bersama.

Sedang Mingyu mengiyakan, ingin memastikan bahwa kekasihnya baik-baik saja. Keduanya sudah makan siang di tempat yang berbeda, Wonwoo membeli minuman hangat tambahan untuk bekalnya hujan-hujanan nanti.

Senyumnya terkembang, aneh memang, ketika orang-orang memilih berteduh dia justru dengan riang gembira menyusuri trotoar meski baju basah dan jalanan menjadi sedikit berkabut.

Otaknya memikirkan banyak kemungkinan Mingyu marah. Seperti apa dia nanti? Apakah semakin tampan? Atau justru jelek? Ah dia selalu mencintai Mingyu apa adanya. Kekasihnya yang ia cintai.

Langkahnya ringan menuju rumah Seokmin, teman Mingyu sejak jaman bayi. Dan tidak ada gentar dalam darahnya menghadapi kemarahan Mingyu nanti.

Di sana, ada Mingyu yang sedang berteduh di dekat halte, membuka payungnya untuk segera pulang. Sebelum matanya melihat Wonwoo datang dengan basah kuyup, tangan kurusnya melambai dengan ceria.

“Ayo kita pulang!”

Mingyu tentu saja marah, dia mengepalkan tangannya, submisifnya ini sangat sulit diatur dan semaunya sendiri tanpa peduli perasaan Mingyu. Lihat bagaimana dia datang berhadapan dengan Mingyu sambil menyodorkan plastik berisikan minuman hangat.

“Untukmu,” kata Wonwoo girang.

“Kau tahu membuatku marah kan, Wonwoo Jeon?”

Ada nada kemarahan yang jelas sekali terselip di sana, tapi Wonwoo mana peduli. “Yap, dan kau semakin tampan.”










Mereka akhirnya berjalan di bawah payung yang dipegangi oleh Mingyu, Wonwoo sih senang-senang saja meski bajunya basah.

Beberapa puluh meter sebelum flat mereka terlihat ternyata hujan turun lebih deras, Wonwoo menampilkan seringainya, dengan cepat tangannya menghalau payungnya hingga terjatuh membuat keduanya basah.

“WONWOO APA YANG KAU LAKUKAN?!”

Namun Wonwoo hanya tertawa lepas karena Mingyu basah tersiram air yang turun beramai-ramai dari langit. Dia tahu bahwa tas kekasihnya kedap air sehingga tidak perlu khawatir akan laptop atau berkas lain yang basah.

Dengan senyum merekah, dia menghampiri kekasihnya yang masih terlihat marah, dia mengusap pipi yang kini menjadi lebih tirus dibanding pertama kali. “Kau sangat tampan jika basah seperti ini Mingyu dan satu lagi,” dia menarik kedua sisi bibir Mingyu. “tersenyum. Kau jauh lebih baik daripada seperti tadi.”

Mingyu masih ingin marah, tapi ketika air hujan yang dingin itu menerpa kepalanya dan tubuhnya, ia mulai berpikir bahwa itu hal yang sia-sia untuk di sesali. Bagaimanapun dia tetaplah basah, bagaimanapun filenya masih utuh dan terselamatkan, yang menjadi perbedaan adalah Wonwoonya yang lebih sering tersenyum ketika hujan turun.

Dia lahir bersama hujan di pagi hari  dengan embun yang masih bertengger di masing-masing tumbuhan hijau dan matahari yang bersinar sangat terang setelah hujan itu turun. Wonwoonya adalah mataharinya, semangatnya.

Wonwoo tidak mengacuhkan Mingyu, dia berbalik dan melompat seperti anak kecil, memancing lebih intens kemarahan sang pacar. Tanpa di duga, Mingyu memeluknya erat dari belakang. “Maafkan aku.”

Wonwoo senang usahanya berhasil, dia hanya ingin Mingyu tidak terlalu stres menghadapi ujiannya yang sebentar lagi akan dimulai, apalagi menjadi pemarah. Dan Wonwoo bukanlah orang yang mudah menyerah dengan hal itu.

“Ya aku sudah memaafkanmu.”

Pelukan itu semakin erat, terasa dramatis karena payung mereka entah kemana perginya dan sepinya suasana.

“Kau tidak takut ketika aku marah?”

Mingyu berusaha menatap Wonwoo di bawah rintik hujan yang menghiburnya terus menerus. “Tidak, aku menyukaimu ketika marah. Karena akulah yang akan meredakan kemarahanmu.”

“Aku mencintaimu.”

“Diamlah, cium saja aku!”

Bersama dengan menyatunya belah bibir itu, hujan meredakan airnya, menciptakan atmosfer menenangkan yang membuat keduanya semakin menikmati ciumannya.



END

NAFAS INI[MEANIE!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang