14. Bodoh?

1.1K 177 50
                                    


NAPAS INI

14. Bodoh?




Ini tentang aku dan kekasihku Mingyu yang sangat aku cintai, bagaimanapun keadaannya, bagaimanapun buruk dan baiknya, aku dengan sukarela menerimanya.

Karena cinta adalah mereka yang tetap bertahan meski tahu bahwa kekasihnya tak sempurna.









Mataku lurus memandang pria yang sudah satu tahun lebih bersamaku, dalam artian kami menjalin hubungan lebih dari sekedar teman sesama pria.

Aku gay, maaf jika kalian kecewa mendengarnya. Tapi inilah aku.

Namanya Kim Mingyu, menarik segala atensi dan pikiranku untuk bersikap lain dari biasanya.
Priaku yang sakit, priaku yang aku sayangi.

Deru napasnya terdengar memburu, namun ia sama sekali tak berbalik untuk sadar akan keberadaanku di lapangan.

Dia bermain futsal bersama teman-temannya yang lain. Aku tidak ingat nama mereka, yang ku ingat mereka hanya sebatas teman bermain olahraga. Bukan teman sesungguhnya. Karena Mingyu berbeda dari orang yang biasa.

Mingyu itu pendiam, matanya seperti elang –menurutku- sehingga aku terkadang takut menatapnya langsung.

Ada yang bertanya, mengapa aku sanggup bersama dengannya. Aku tidak bisa menjawab karena hanya merasa ingin, hari ini pun aku masih ingin bersamanya. Dan hari-hari berikutnya.

Topangan dagu pada lututku membuatku dapat duduk nyaman, membayangkan apa saja yang telah kulakukan hari ini di tempat kerjaku. Berbeda dengan Mingyu yang menempuh pendidikan lanjutan sarjana, aku memilih bekerja.

Tidak buruk, hanya seorang admin di sebuah perusahaan surat kabar. Beruntung aku tidak langsung terjun ke lapangan dengan segala risiko.

“Wonwoo hhhh.”

“Oh Gyu? Sudah selesai?”

Aku bergegas berdiri, menggapai tasku, mengeluarkan handuk kering kecil dengan botol air minum yang segera diterima oleh Mingyu.

“Kau kelelahan?”

Aku menggeleng. “Bukannya kau yang berlatih?”

Dia hanya diam menatapku kembali dengan matanya hingga aku merasa risih, “tolong jangan lakukan itu Gyu, kau menakutiku.”

“Jika kau takut pergilah, aku juga tidak ingin bersama orang yang takut padaku.”

Rasanya serba salah jika telah bersamanya. Banyak sekali kehati-hatian untuk Mingyu. “Baiklah, ayo pulang.”

Sempat aku melirik ke arah tangannya, dan aku tahu ia melakukannya lagi karena tidak menggandengku.






Kami tinggal satu atap, satu apartemen di sebuah tempat di Seoul. Dengan hiruk pikuknya kota besar ini, aku terkadang merasa lelah. Aku tidak bisa melihat banyak orang karena itu bisa membuatku pusing, dan beruntung karena tempat kerjaku hanya berisi tiga orang. Ya di divisiku.

Aku merenggangkan tubuhku, sudah dua jam aku duduk di kursi kerjaku. Sebuah meja dengan komputer dan kursi busa menjadi temanku jika aku harus mengerjakan pekerjaanku di rumah. Mingyu akan marah jika aku lembur sehingga aku meminta atasanku untuk dapat mengerjakan di rumah dalam batas waktu tengah malam.

“Kau mengapa belum selesai?”

“Ah ini Gyu masih sedikit lagi, aku akan segera menyelesaikannya.”

“Aku tidak mau, kau makan sekarang.”

“Tapi hanya sedikit lagi, aku janji aku akan segera menyusulmu.”

Dia diam, menatap dengan pandangan yang biasa ia lakukan ketika marah.

Oh tidak.

“Tidak, Mingyu, ini bukan sa─”

Belum selesai aku bicara, ia sudah pergi.

Oh Tuhan aku tahu apa yang akan dia lakukan.

“Mingyu, tidak, jangan, kumohon jangan lakukan.”

Dia sudah di sana, aku terlambat. Ia berhasil menyayat tangannya lagi hingga darah itu berjatuhan deras mengotori lantai kami.

“Ini salahku, aku tidak becus menjagamu.”

Dia selalu menyalahkan dirinya sendiri ketika terjadi sesuatu padaku. Aku sudah sangat sering melihat hal ini, aku ingin menyalahkan diriku sendiri hanya saja aku tidak bisa. Jika aku melakukannya tidak ada kata damai.

“Gyu, kemarikan pisau itu.”

Dia melihatku dengan tajam, tanpa aba-aba melemparkan pisau itu.

Aku terkejut, berusaha menghindar hingga terjatuh, napasku terasa memendek, hampir saja, hampir sedikit lagi itu mengenai mataku.

Langkah kaki terburu aku dengar, dia mendekatiku dan menarik kerah bajuku. Tubuhku yang kurus ia angkat tinggi dengan tangan mencengkram leherku.

M-mingyuhh hhh hhkk!”

Kakiku menendang kuat, berusaha lepas dari dirinya. Kepalaku pening karena cekikannya, tapi aku tak menyerah. Dengan tanganku yang bebas aku menekan tengkuknya. Berusaha mendekatkannya dengan diriku meski rasanya akan mati.

Berhasil.

Dengan segala sisa tenagaku aku memeluknya yang masih mencekikku, menangis dalam rasa sesak sebelum meraskan tangannya mulai melemas. Aku terbatuk keras tapi tetap memeluknya. Ia butuh ditenangkan.

“A-aku hhh minta maaf.”

“Wonwoo?”

“Ya Mingyu ini aku, aku yang menyayangimu. Maafkan aku.”

Dia hanya menangis, tangisannya membuat hatiku sesak. Aku tak ingin melihatnya seperti ini. “Jangan menangis aku mohon jangan.”

Seperti anak kecil, ia tersedu dalam bahuku. Menghinggapiku dengan berbagai air mata, rasanya tidak akan tega membiarkannya.
Mingyu itu berbeda, dia akan sangat tempramen dan sensitif jika bersamaku.

Tapi aku mencintainya.

NAFAS INI[MEANIE!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang