Cerita ini dikarang oleh Anjali_Lazialita
****
Sore itu, langit kota sedang cerah. Jalanan lengang dengan lembayung jingga yang menggantung. Aku terdiam sambil menikmati semilir angin yang berhembus perlahan, secangkir cokelat lengkap dengan kepulan asap putih di atasnya pun menjadi teman.
Tepat dua puluh meter dari tempat ku, terlihat dua sejoli sedang mengikat cinta. Aku menyunggingkan senyum. Mereka masih menikmati waktu, berbagi canda dan tawa. Tidak sepertiku yang masih terpaku pada kenangan masa lalu.
1.095 hari yang lalu, mungkin aku berada di posisi remaja putri itu. Tertunduk malu-malu dengan pipi bersemu. Namun, semua sirna seiring berjalannya waktu. Hatiku tentu kecewa, karna kebahagiaan tak lagi berpihak kepadaku. Tapi, aku kembali teringat akan suatu hal. Yaitu, dunia tak akan pernah terhenti meski sesakit apa pun hatiku.
Tiga tahun tanpa terasa melesat begitu saja. Bagaikan busur panah yang dilepaskan. Tiga tahun yang cukup berat, bagaimana aku harus kembali menata kehidupan ku sebelumnya. Bahkan, terlalu banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan untuk kembali ke kota ini.
"Hai, bagaimana kabarmu?" suara berat itu mulai bertanya kepadaku.
"Alhamdulillah baik" aku menjawab setelah sekian lama bungkam.
"Aku juga baik," katanya. Padahal aku sama sekali tidak bertanya.
Terlalu berat mengikhlaskan apalagi mencoba ikhlas dengan keadaan yang pelik. Mata ku kembali menatap puluhan kendaraan yang berlalu lalang, rasanya enggan menerima kenyataan sebenarnya. Meninggalkan kota untuk melupakan semuanya, tapi mengapa saat kembali kenangan itu masih di dalamnya.
"Besok, ayah sama ibu mau jenguk Mas Arlan. Apa kamu mau ikut?" orang itu kembali bertanya.
Ah, nama itu lagi.
"Kalau tidak bisa juga, tak apa. Aku juga tidak memaksa, cuma kalau ingin ikut. Aku tunggu di tempat biasa," katanya menambahkan.
"Tidak perlu, biar aku berangkat sendiri. Lagi pula aku kangen sama ibu," jawabku.
Sorot matanya seakan berbinar mendengar jawabanku. Kemudian, ia kembali menarik kepalanya untuk menatap lurus ke depan. Beberapa kali ia menyesap kopi hitam pekat di cangkirnya. Sudah kuduga, selera nya masih sama.
Ah, wajah dan lesung pipinya! Membuat aku gagal fokus, memang badanku tidak condong ke arahnya, tapi mataku melirik dari setiap pergerakan yang dibuat olehnya. Sampai pada akhirnya, Jingga tak lagi ada yang tersisa, hanya ada awan yang perlahan menjadi kelabu.
"Albyra. Sampai bertemu besok ya," senyuman lebar di wajahnya membuat matanya menyipit.
Aku hanya bisa melambaikan tangan, tanpa bisa membalas ucapan selamat tinggalnya itu. Kelu, lidahku sangat kelu. Bahkan, tubuhku pun sudah panas-dingin sedari tadi. Suasana yang canggung untuk aku bertemu dengannya. Aduh, bagaimana besok harus di hadapan kedua orang tuanya.
•••
Kaki ini terasa sangat lemas, terlebih saat melintasi jalan lurus berbata, sering kali aku terhuyung. Tapi, aku harus kuat dengan keadaan.
"Assalamualaikum bu," sapa ku kepada perempuan paruh baya di hadapan ku. Wajahnya masih sama, hanya ada tambahan keriput di sisi matanya.
"Waalaikumsalam, cah ayu. Ibuk kangen." perempuan paruh baya itu mendekapku dengan sangat erat, seakan tak ingin lepas.
Aku berusaha menahan tangis, sementara aksi berpelukan kami disaksikan oleh Ayah Yuda dan orang yang kemarin bertemu denganku.
"Sudah bu, kasihan Albyra nanti sesak napas" pinta Ayah Yuda.
Aku hanya tersenyum menanggapi. Kehangatan dan kelembutan keluarga ini masih sama.
"Ayo. Pasti Arlan senang di jenguk sama kamu. Sudah lama sekali kamu tidak datang," kata Ibu mengingatkan.
"Eum...." aku berpikir sejenak. Tidak mungkin kan, aku bilang bahwa aku melarikan diri dari kota ini.
"Ah, ibu. Albyra ini kan pengusaha muda. Mungkin sibuk, jadi belum sempat datang" terang Ayah Yuda.
Langkah kami dipercepat, karena awan mendung sudah menunjukan kharismanya. Lereng bukit yang banyak ditumbuhi pohon pinus, terasa tenang dan damai. Udaranya pun sangat sejuk, berbeda dengan kondisi di kota. Tapi, suasana gelap disini sangat mencekam,
"Assalamualaikum Mas Arlan, kami datang berkunjung"
Mataku memanas. Dada ini terasa amat sesak, pasokan oksigen ku pun menipis. Gundukan tanah merah di hadapan ku ini, menjadi saksi kesedihan yang selama ini terpendam. Ukiran nama di nisan ini seharusnya tercetak dalam buku nikah, tiga tahun yang lalu. Namun, sayang takdir telah merenggut raganya.
Arlan Brayuda.
Nama yang seharusnya bersanding dengan namaku di undangan pernikahan kami. Seharusnya kami sudah mempunyai keluarga kecil yang bahagia. Seharusnya kami masih berada dalam alam yang sama. Tapi, semua hanya bisa terwujud dalam khayalanku semata. Mas Arlan telah pergi, jauh dari kehidupan dunia yang fana ini.
"Mas Arlan...." kataku melemah dan kemudian pandangan mataku kabur begitu saja. Semua menghitam.
•••
"Albyra...." hanya suara itu yang dapat ku dengar.
"Albyra, kamu harus bangun."
"Albyra, kamu ga boleh lemah."
"Kamu harus kuat, ada aku di sampingmu. Kamu harus tetap tegar ya,"
Aku mencoba mencari sumber suara. Entah di mana suara itu, tetapi sangat dekat. Suara khas Mas Arlan yang lembut. Aku rindu..
•••
"Uhuk... uhuk," tenggorokan ku rasanya serak sekali. Tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Al, ini minum dulu"
"Makasih ya, Lan." kataku seraya menerima gelas pemberian dari Erlan.
"Sama-sama" Erlan tersenyum.
"Maaf—" aku menjeda sebentar, "maaf aku pergi tanpa bilang. Meninggalkan segala kekacauan yang aku perbuat, dan maaf aku sudah...."
Erlan menutup mulutku dengan tangannya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah menjadi takdirnya, Mas Arlan pasti bahagia melihat kamu sekarang yang jauh lebih tegar dari sebelumnya."
Erlan mengelus pelan pucuk kepalaku. Sentuhan nya membuat aku sedikit lebih tenang, mungkin itu karena Erlan adalah saudara kembar Mas Arlan. Namun, melihat wajahnya aku semakin terbayang akan kejadian hari itu.
"Kecelakaan itu, seharusnya merenggut nyawaku. Bukan, Mas Arlan. Andai aku tidak memaksa Mas Arlan untuk membeli hadiah Anniversary kita, pasti semua ini tidak akan terjadi" aku menyeka air mataku yang berlinang begitu saja.
"Hey, jangan bersedih lagi. Ini hari kasih sayang, yang seharusnya kamu jangan sedih lagi. Ingat kata Mas Arlan, dunia ini tak akan berhenti meski sesakit apa pun hatimu."
Ya, aku ingat kata-kata itu. Kata yang persis sama diucapkan pada hari ini tiga tahun yang lalu. 14 Februari menjadi hari paling bersejarah bagiku, di hari ini berbagai macam peristiwa terjadi.
Saat aku bertemu dengannya.
Saat ia menyatakan perasaannya.
Saat ia meninggalkan aku untuk selamanya.
Aku tidak akan pernah melupakan hari ini. Hari yang selalu diperingati hari Kasih Sayang di berbagai belahan dunia, namun aku justru merasakan kasih sayang berbalut dengan kesedihan di dalamnya.
•••
Ketika raga mu sudah tidak bisa terjamah, hanya bayangan yang masih memeluk erat. Aku masih setia pada penantian yang tak bertuan, pada cinta yang telah berpulang. Terima kasih sudah mencintaiku sepanjang hidupmu, aku kan bawa hatimu kekal di dalam ragaku.
Albyra Adhistia,
•••
Hayo bagaimana?
Jangan lupa vomment ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
EVENT AIRIZ "Realita di balik Valentine"
Short StoryWork ini akan berisi karya-karya terbaik dari penulis Airiz dengan tema #Realitadibalikvalentine. Event ini diselenggarakan mulai dari tanggal 14 Pebruari - 14 Maret 2019. Cerita pendek - dengan segala genre dan dikemas apik oleh beberapa penulis ka...