Karya ini dikarang oleh navulia
****
Air mataku jatuh ke pipi, dan aku tersentak kaget. Seumur-umur tidak pernah aku menangis. Kupandang sekali lagi foto yang berhasil membuatku tampak cengeng. Terlihat jelas di sana aku sedang tersenyum bahagia mengenakan gaun putih dan di seberangku berdiri, kau bisa lihat seorang pemuda yang tampan. Di tengah-tengah kita ada seorang pendeta baik yang menikahkan kita, walau di saat itu pernikahan dilarang oleh raja yang kejam, Claudius II gelarnya.
Yap, benar, hari ini tanggal 14 Februari, bertepatan dengan dibunuhnya pendeta baik itu, Valentinus namanya. Aku mengenangnya karena selain sebagai hari bahagiaku, hari ini merupakan hari tersedih sepanjang hidupku. Semua kisah menyebalkanku berawal dari si brengsek Claudius. Walau aku sudah tua, renta dan sendiri, setiap perbuatan Claudius masih terekam dengan baik di kepalaku. Mirip seperti film yang selalu diputar di otakku hingga setiap hari semakin menambah kebencianku pada Claudius. 'Aku tak rela pendetaku kau hukum se-enak jidatmu'
***
25 tahun yang lalu...
"Ada berapa orang yang berangkat ke markas pagi ini?" raja menatap pimpinan markas dengan tatapan tajam.
"Hanya ada 500 orang, Yang Mulia," ucapnya sambil menundukkan kepala, gemetar dan takut.
"Kenapa yang lain tidak berangkat? Bukankah wabah penyakit sudah berlalu? Stok obatnya juga sudah aku kirimkan ke rumah warga, secara menyeluruh," selisik sang raja.
"Maaf Yang Mulia, tapi kebanyakan dari mereka izin untuk berbulan madu bersama kekasih mereka," pimpinan markas semakin menundukkan wajahnya. Keringat dingin mulai memenuhi wajah dan badannya.
"APA?! Jadi kekasihnya itu lebih penting dari memenangkan perang kali ini?" raja mendengus kesal. Di dalam dadanya sudah terlalu banyak angkara murka.
Sedetik kemudian, ia melempar piring saji yang disajikan khusus untuk raja.
"Dengar, ya? Aku tidak mau menerima alasan tidak masuk akal seperti ini lagi. Paham!" teriak raja dengan lantang. Marahnya belum kembali reda, malah semakin memuncak.
"Iya baginda. Hamba paham," ucapnya pelan.
"Paham apa! Hah! Larang juga seluruh rakyat untuk menikah, kalau perlu penjarakan semua wanita. Semua laki-laki harus berpartisipasi dalam perang. Wanita hanya menjadi pengacau saja. Benar-benar tak berguna. Dasar sampah!" kali ini emosinya benar-benar harus di keluarkan, kalau tidak, apa kabar dengan penyakit jantungnya, penyakit hatinya, dan beberapa penyakit kritis lainnya. Komplikasi.
"Siap, laksanakan Yang Mulia," pemimpin markas segera undur diri, takut rajanya marah lagi. Badannya masih merinding, keringat dinginnya masih muncul, malah semakin deras. Salah siapa membayangkan pedang raja menebas leher jenjangnya.
Langkah lebar pemimpin markas menyibak rerumputan tinggi di padang rumput milik kerajaan itu. Tergesa-gesa. Membuat keringat dinginnya menyatu dengan keringat panasnya, asin. Baju pemimpin markas kini telah basah, seperti diguyur air hujan. Dari jauh peluh itu tampak berkilauan menghiasi wajah hitamnya. Benar-benar terik, siang itu. Bahkan semut tak tampak di sela-sela tanah yang gersang, kering bagai hati tanpa penghuni.
"Buka!" seru pemimpin markas dengan lantang.
Suara gemuruh gerbang markas di buka, sampai ke telinga prajurit bawahannya. Semua ambil sikap siaga. Tunduk hormat di sepanjang karpet merah. Kalian pasti bertanya, untuk apa karpet merah? Ini markas loh, bukan istana. Pemimpin markas itu memiliki ambisi menguasai istana, itulah jawabannya. Dengan angkuh ia berjalan di atas karpet kebesarannya itu. Sambil menatap tajam satu-persatu prajurit bawahannya, ia berdecak kesal. Tak ada yang menanyakan kabarnya. Lagi-lagi ia kesal, lalu dengan cepat, ia mengusap wajahnya yang berkeringat dan mengibas-kibaskan keringatnya di depan prajurit muda. Ih, caper.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVENT AIRIZ "Realita di balik Valentine"
Short StoryWork ini akan berisi karya-karya terbaik dari penulis Airiz dengan tema #Realitadibalikvalentine. Event ini diselenggarakan mulai dari tanggal 14 Pebruari - 14 Maret 2019. Cerita pendek - dengan segala genre dan dikemas apik oleh beberapa penulis ka...