Sejak tadi Bu Ratna mondar-mandir ke sana kemari sambil sesekali membuka tirai jendela yang menerobos halaman depan. Terlihat seperti sedang menunggu seseorang. Raut wajah itu terpasang kecemasan.
Radit menuruni anak tangga untuk mengambil air minum di dapur. Melihat mamanya seperti orang bingung.
"Kenapa sih, Ma?"
"Aduh Dinda mana ya ... kok belum pulang." Sambil melirik jam tangan besi putih yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri, lalu kembali membuka tirai jendela dan menutupnya lagi.
Harusnya sih udah pulang, batin Radit.
"Mama tenang aja, tadi Radit udah bilang sama Danu buat anterin Dinda pulang."
"Coba Mama telpon dulu." Bu Ratna bicara sendiri lalu melangkah mendekati lemari kecil di samping tangga dan mengambil ponsel. Jemarinya begitu lincah. Beberapa detik kemudian.
"Kenapa nomer Dinda ngga aktif ya," ucap Bu Ratna cemas dan coba mengulangi panggilan kembali. Dan harus kecewa karena hasilnya tetap sama.
"Aduh Dit ... yuk kita jemput Dinda." Bu Ratna kembali terlihat seperti orang bingung.
"Biar Radit telpon Danu."
Radit merogo saku celana, mencari nomer Danu dan langsung menelponnya. Tapi tak ada jawaban. Radit mengulangi panggilan kembali tapi tetap sama.
"Ngga diangkat, Ma."
"Tuh 'kan ...." Bu Ratna kembali panik.
"Mama tenang aja, mungkin masih di jalan kali. Mama ngga usah khawatir, Dinda pasti baik-baik aja kalo sama Danu."
Bu Ratna pun kembali tenang sembari menghela napas.
***
Akhirnya kami sampai di rumah Danu. Aku mengikuti langkahnya yang sudah buru-buru masuk. Sedikit susah mengejar karena kakiku masih terasa sakit.
Di depan kamar Tante Artha, dari jauh sudah terdengar suara barang yang dibanting serta suara orang berteriak-teriak yang tidak lain adalah suara Tante Artha.
"Pa ...." Danu mendekati papanya dan beberapa pelayan yang hanya bisa berdiri menyaksikan mamanya mengacak-acak isi kamar. Tak ada yang berani mendekat.
Kondisi Tante Artha sangat menyedihkan. Rambut acak-acakan seperti tidak terurus. Dan isi kamar yang cukup luas itu seperti kapal pecah. Puas melemparkan barang-barang, Tante Artha menangis sambil terduduk lemas. Dua tangannya berada di atas kepala yang tertunduk seperti ketakutan. Tapi beberapa detik kemudian Tante Artha kembali mengacak-acak semuanya lagi.
Ketika melihat ada kesempatan, aku berusaha mendekat untuk coba membujuknya. Om Wisnu mencegah karena takut aku jadi sasaran amukan istrinya. Tapi aku berusaha meyakinkan Om Wisnu kalau itu semua tak akan terjadi. Entah kenapa hatiku yakin kalau Tante Artha tidak akan menyakitiku.
"Tante ...," panggilku pelan sambil berusaha mendekat. Tante Artha yang kembali menangis sambil duduk dan tertunduk tak menjawab.
"Tante ... ini Dinda," ucapku sekali lagi dengan suara yang lembut. Kali ini Tante Artha mengangkat kepalanya dan menatapku tajam. Sambil berjongkok untuk menyejajarkan tinggi dengannya, kupamerkan senyum manis dan lembut untuk membuatnya yakin kalau aku tidak akan berbuat jahat padanya. Matanya kini menatap sedih, seolah mengharap belas kasih.
Bugh! Tante Artha menghambur ke pelukanku yang hampir saja limbung ke belakang. Beliau memelukku erat seolah butuh perlindungan. Aku berusaha memeluknya balik, siapa tahu bisa membuatnya lebih tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Balik Senja Kelabu [Proses √]
General FictionNovel remaja. Perjuangan seorang gadis remaja untuk sebuah cinta dan keluarganya.