Pagi ini, seperti biasa aku dan Kak Radit berangkat sekolah bareng. Tak ada lagi aksi menghindar dan beralasan ini itu. Setelah kejadian tadi malam, kami semakin akrab sebagai kakak adik. Mulai kurasakan bagaimana jadi seorang adik yang selalu dijahilin kakaknya. Aku senang dengan perubahan sikap Kak Radit yang begitu mudah menyesuaikan diri.
Begitu turun dari motor, aku dan Kak Radit masih berjalan beriringan sambil bercanda. Sesekali Kak Radit mengacak-acak rambutku. Aku hanya mengerucutkan bibir. Tapi Kak Radit hanya tertawa saja. Melihat tingkah kami, aku harus menghadapi cibiran-cibiran sinis, kesal dan tatapan membunuh dari cewek-cewek centil yang naksir Kak Radit. Bisa dibilang posisi Kak Radit dan Danu yang menyandang predikat sebagai cowok populer di sekolah sama.
Sampai aku masuk ke kelas, tatapan itu baru hilang. Segera kuambil napas lega setelah mendudukkan diri di bangku. Suasana kelas mulai ramai oleh para penghuninya karena sepuluh menit lagi bel masuk.
Namun, sepertinya ada yang berbeda kurasakan saat melirik bangku sebelah kiri yang bersejajar denganku. Penghuninya yang tidak lain adalah Danu, belum juga datang. Tidak biasanya Danu datang selama ini.
Tadinya aku pikir Danu mungkin sebentar lagi akan datang. Tapi sampai bel masuk berbunyi, bahkan dua jam pelajaran pertama berakhir, Danu belum juga menampakkan batang hidungnya. Serta tak ada kabar yang kudengar kenapa Danu tidak masuk sekolah. Aku merasa seperti ada yang kurang.Kemaren memang aku menghindarinya selama beberapa hari. Tapi aku masih bisa melihat wajah tampannya yang sedang kesal dan lebih sering menekuk karena ulahku. Meski dari jarak jauh dan curi-curi pandang, yang jelas aku masih bisa melihatnya dalam keadaan baik-baik saja. *
Sampai keesokan hari, Danu tidak juga masuk sekolah. Masih tak ada kabar dan keterangan yang jelas. Aku makin merasa kehilangan. Apa yang terjadi dengan Danu. Jujur aku merindukannya. Andai aku tak menghindarinya kemaren, mungkin rasanya tak akan seberat ini menanggung rindu.
Selama jam pelajaran berlangsung aku tak bisa fokus, memikirkan Danu. Siska, sahabatku yang suka kepo selalu saja memperhatikan.
"Din, Dinda! Kamu pasti lagi mikirin pacarmu, si Danu 'kan?"
Keningku mengernyit. "Aku ngga pacaran sama Danu."
"Ngga usah bohong, Din. Kelihatan dari kemaren kamu ngelamun terus."
"Kira-kira Danu ke mana ya, Sis? Apa Danu sakit?"
"Ha ... tuh 'kan benar. Khawatir banget sama pacarnya."
Aku hanya mendengus dengan komentar Siska. Entah sudah berapa kali kukatakan kalau aku dengan Danu tidak pacaran. Tapi Siska tak percaya. *
Tiga hari sudah Danu tidak sekolah. Dan sukses membuatku uring-uringan memikirkannya. Berbagai macam hal yang berkecamuk dalam otakku. Apakah Danu sakit. Tapi kenapa tidak memberi kabar ke sekolah. Hal kemungkinan terburuk yang kupikirkan adalah, Danu sudah pindah sekolah. Tapi aku cepat-cepat menepiskan pikiran itu segera. Karena aku belum siap kalau sampai hal itu terjadi. Entah kenapa aku belum siap Danu menjauhiku, meskipun sebelum ini terjadi aku memang sengaja menghindarinya.
Kuseret langkah menuju kelas dengan malas. Lalu mendaratkan bokong pelan di bangku sambil melirik bangku yang bersejajar denganku. Masih kosong seperti kemaren. Entah berada di mana penghuninya saat ini. Aku merasa menyesal telah menghindarinya beberapa hari yang lalu.
"Dinda!!" Suara cempreng Siska memekakkan telingaku. Aku mendengus sebal ke arahnya sambil menutup kedua telingaku.
"Kenapa harus teriak sih, Sis. Aku ngga budeg."
Siska cuma nyengir kuda. "Maaf, Din. Tapi dari tadi aku ngajakin kamu cerita, kamu malah asyik nontonin bangkunya Danu." Sekarang wajah Siska mulai menunjukkan prihatinnya sebagai sahabat padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Balik Senja Kelabu [Proses √]
Ficción GeneralNovel remaja. Perjuangan seorang gadis remaja untuk sebuah cinta dan keluarganya.