"Kakak mau ngapain?"
Raelyn Amaranggana meneguhkan hati untuk menghadapi gelombang amarah yang sempat ia rasakan sejak tiga hari lalu. Namun anehnya, rasa itu tidak muncul. Dengan hati-hati ia mencoba merasakan tapi ia tidak merasakan apa-apa. Sama sekali tidak ada. Seolah-olah semua perasaannya telah ikut berceceran di lantai seperti barang-barang di dalam kamarnya saat itu. Tumpukan buku yang tadinya tertata rapi di meja yang berada tepat di hadapan jendela sudah menghambur berantakan di lantai. Map-map bening yang tadinya tersimpan rapat di dalam lemarinya pun bertebaran ke seantero ruangan.
"Aku ini lagi ngomong sama kamu, Kak! Kenapa dari kemarin Kakak malah diem sih? Kakak tahu kan aku paling benci diacuhkan."
Raelyn mendongak dari sebuah map yang sedang diisinya dengan kertas-kertas putih penuh tulisan kecil secara asal-asalan, memperhatikan profil Rex, adiknya yang kurus dengan rambut berantakan. Mengapa selama ini ia tak pernah memperhatikan besarnya sifat keras di mata cokelat adiknya yang bagai manik-manik tertimpa cahaya matahari atau tarikan masam mulut lelaki berusia dua puluh dua tahun itu?
"Kamu kenapa, Kak? Kenapa bisanya cuma berdiri di sana dan melotot, bukannya memukulku atau menendangku?" Suara Rex meninggi.
"Aku baik-baik aja dan aku bakalan membereskan semua masalah ini. Secepatnya."
Raelyn berjalan menuju lemari pakaian lalu membuka pintunya, secara naluriah tidak menyukai pakaian-pakaian yang ada di dalamnya. Semua pakaian polos nyaris tanpa model dan berwarna pastel lembut itu tidak cocok untuknnya. Pakaian itu lebih cocok dikenakan seseorang yang mungkin memiliki tubuh lebih mungil. Bukan untuknya yang bertubuh setinggi 165 sentimeter, pakaian itu jadi terlihat terlalu ketat dan warna pastel membuat kulitnya tampak pucat. Wajar saja, Raelyn nyaris tak pernah membeli satu helai pun pakaian sejak ayahnya meninggal. Tapi bukan itu fokus utamanya. Ia menarik sebuah laci tepat di tengah lemari, kemudian meletakkan map tadi di sana dan menutup pintu lemari dengan mantap.
"Apakah masalah yang aku buat ini masih kurang menyita perhatianmu, Kak?" cecar Rex.
"Entahlah," jawab Raelyn Jujur. "Yang aku tahu ini adalah terakhir kalinya kamu ngomong kayak gitu sama Kakak, karena setelah ini nggak akan ada lagi pengampunan."
"Pengampunan?"
Raelyn melihat Rex tanpa merasakan apa pun. "Aku berharap banyak sama kamu, Rex, tapi kenapa kamu malah tega berbuat kayak gini."
Seraya membalikkan badan, Raelyn meraup sisa kertas yang bertebaran di lantai, melemparkannya ke atas meja, dan meletakkan sisanya ke dalam laci.
Mulut Rex ternganga kaget melihat tanggapan Raelyn yang tak disangka-sangka itu. Setahu Rex, Raelyn terlahir dengan emosi yang meledak-ledak. Jadi, dia pikir dengan membuat masalah sebesar ini akan membuat perhatian Raelyn akhirnya tertuju padanya. Bukan sebaliknya. Dia tidak suka melihat Raelyn yang setenang ini.
"Kalau diingat lagi, aku sudah melakukan semua yang aku bisa agar kita bisa hidup dengan layak." Raelyn mengernyit mengingat rentetan peristiwa yang harus dia hadapi selama beberapa tahun terakhir. "Mempertaruhkan pendidikanku, masa mudaku hanya demi keluarga ini setelah Ayah memilih untuk bunuh diri." Upaya keras Raelyn untuk mengendalikan diri menjadi sedikit goyah saat teringat ayah yang sangat disayanginya. "Kamu itu satu-satunya orang yang aku andalkan, tapi kenapa setega ini?"
"Sepertinya kamu salah orang, Kak dan kamu nggak berhak mengatur hidupku!"
Mata Raelyn yang juga berwarna cokelat sejenak berubah gelap karena marah. "Sejak Ibu memutuskan pergi meninggalkan kita dan ayah tewas setelah menjerat lehernya dengan tali, tentu aja aku punya hak untuk mengurus dan mengaturmu! Kamu boleh aja pergi dan mengurus hidupmu sendiri kalau memang kamu merasa mampu memikul beban hidupmu itu, mampu mencari sumber penghasilan sendiri yang jumlahnya lebih dari cukup sebagai bekal hidupmu."
Mata Rex berkaca-kaca, dan kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya yang gemetar.
"Keluarlah. Aku butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri dan mencari solusi dari masalah yang sudah berhasil kamu ciptakan. Ya Tuhan, Rex dari mana aku bisa dapetin uang seratus juta dalam waktu singkat?"
Raelyn merosot duduk bersimpuh di sekitar tumpukan barang-barang di kamarnya.
"Maafkan aku, Kak. Tapi satu-satunya solusi dari masalah ini hanya dengan menjual Ciel Bleu."
Aliran darah dalam tubuh Raelyn seketika kembali deras mendengar kalimat itu. Raelyn menoleh dan melihat Rex. "Ciel Bleu itu warisan terakhir orangtua kita, Rex!"
YOU ARE READING
A Wok to Remember
ChickLitHutang yang menumpuk membuat Raelyn terpaksa menjual Ciel Bleu pada Enzo, pewaris utama keluarga konglomerat Hardinata garis miring lelaki menyebalkan sedunia. Bukannya dia tak ingin mempertahankan warisan ayahnya, tapi Raelyn harus melindungi adik...