Ketika mentari belum menampakkan diri dari peraduannya, ia sudah terbangun. Gadis kecil dengan begitu polosnya mengendap-ngendap pergi ke kamar mandi, dibersihkannya badannya sebersih-bersihnya, ia berharap pagi itu tampil wangi dan bersih. sehabis mandi ia menuju lemari sang kakak dan mengambil seragam bekas sang kakak yang sudah kekecilan. Keinginannya untuk sekolah tidak bisa dihalang lagi. Ketika mentari mulai menampakkan diri ia sudah siap untuk berangkat sekolah. Dengan penuh bahagia ia membangunkan sang kakak.
"kak, ayo kita sekolah"
Sang kakak terkejut mendengar suara itu, dipandanginya adik kecilnya, dengan seragam bekas dan sandal jepit yang entah berapa kali disambung oleh ayahnya.
"kamu mau kemana?"
"aku mau pergi sekolah kak!." Ucapnya dengan penuh bahagia. "ayo kita berangkat"
"tapi kamu tidak bisa langsung sekolah, kamu harus daftar dulu sayang"
"iya ayo kita daftar sekolah, aku sudah tidak sabar bertemu dengan teman-teman disekolah"
"tapi kamu tidak punya sepatu sayang"
" gak papa kak pakai sendal aja, nanti bilang ke bapak guru kalau aku masih tidak punya uang untuk beli sepatu."
Sang kakak begitu haru melihat semangat dan keinginan sang adik untuk sekolah. Tapi sayangnya sang ayah belum punya uang lebih untuk bisa menyekolahkan dia. Untuk makan saja mereka terpontang panting mencari kesana kemari. Sang ayah yang hanya bekerja sebagai buruh tani, harus bekerja sendiri untuk membiayai 5 anaknya yang masih menempuh pendidikan, ditambah lagi gadis kecilnya yang memang sudah saatnya untuk masuk Sekolah Dasar. Sang ayah benar-benar membutuhkan perjuangan yang luar biasa untuk itu.
Pagi itu sang kakak tak dapat menolak permintaan adik kecilnya, ia segera siap-siap dan berangkat ke sekolah. Sesampainya disekolah ia langsung menuju ke kantor yang sudah rame dengan candaan guru-gurunya. Permisi pak, saya ingin mendaftarkan adik saya. Sang guru memandangi gadis kecil itu dengan seragam yang lusuh dan sendal jepit satu-satunya.
"ini adikmu yun?"
"iya pak, usianya sudah tujuh tahun, tapi dia belum punya sepatu pak!"
"iya pak tapi saya janji kalau sudah ada uang saya akan beli sepatu, tapi izinkan saya sekolah dulu pak" wajahnya yang mungil mulai khawatir.
"iya dok gak papa, ayo yun sini bawa adekmu"
Pagi itu adalah hari pertamanya sekolah, ia begitu senang bisa berada disana. Ia tak pernah malu dengan keadaan keluarganya dan sendal jepit yang dipakainya untuk sekolah. Ketika bel pulang sudah berbunyi ia segera bergegas menyalami ibu gurunya untuk segera pulang. Tapi ketika itu ia masih tidak berani untuk pulang sendiri, akhirnya ia menunggu kedua kakaknya dan pulang bersama. Sesampainya dirumah dia menemui ibunya dengan begitu gembiranya, ia ceritakan sekolahnya hari itu.
" ibu aku sudah bisa sekolah, kata pak guru gak papa walau pakai sendal"
"iya sayang kamu yang rajin ya sekolahnya, semoga kelak jadi orang yang sukses"
"pasti bu, ibu tahu tidak, walau hari ini hari pertama aku sekolah aku sudah bisa membaca dan menulis meskipun tidak sekolah TK, aku pintar kan bu?"
'iya sayang, kamu memang anak ibu yang pintar, sana ganti baju dulu ya, habis itu langsung makan"
"iya bu"
Melihat semangat adiknya yang sangat luar biasa, sang kakak berpikir untuk mencarikan sepatu bekas dibawah tempat tidurnya dan mengecek semua sepatu bekas kakak-kakaknya barangkali masih ada yang layak untuk dipakai. Saat itu ia teringat dengan sepatu bekasnya yang hanya dipakai beberapa kali karena kekecilan.
"dek coba lihat, taraaa kakak punya sepatu"
"waah asyik dong besok aku bisa sekolah pakai sepatu"
"iya, sini coba dulu"
"asyik punya sepatu"
"kamu dapat darimana yun?" sahut ibunya yang sedang memasak.
"sepatu yang dikasik pak guru dulu buk, yang kekcilan itu, masih bagus kok cuma kepakek tiga kali"
"kak lihat sepatunya pas"
" hmmm iya, besok kamu sekolah pakek sepatu ya"
Sang ibu hanya bisa tersenyum melihat kejadian itu dan tanpa ia sadari airmata menetes dipipinya, ia begitu sedih melihat kenyataan yang dihadapi anak-anaknya, ia berharap suatu saat nanti kehidupan mereka berubah lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Anak Ayahku
Short Storycerita ini berdasarkan pengalaman penulis dalam mengarungi bahtera kehidupan