"dek nanti kalau lapar kita ambil jambu ya, persediaan beras sudah habis". ujar kakak laki-lakiku.
saat itu aku masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, aku hanya bisa mengangguk-nganggukkan kepala mendengar percakapan kakakku. padahal perut kecilku sudah melilit sejak di sekolah tadi. aku pun bergegas untuk ganti baju dan mengambil sebuah jambu biji yang sengaja di tanam di depan rumah kami. tiba-tiba aku teringat bahwa aku memiliki tabungan di sekolah, aku berniat untuk memintanya besok.
sudah berbulan-bulan menabung tapi hanya berhasil mengumpulkan uang sebesar tujuh ribu lima ratus rupiah. akan tetapi uang itu cukup untuk membeli beras satu kilo bahkan masih ada sisa 2.500 rupiah. keesokan harinya aku menghampiri wali kelasku, dengan perasaan malu dan harapan yang besar.
"assalamualaikum bu,,"
"waalikum salam, ada apa fah?"
"begini bu, saya mau minta uang tabungan saya yang sudah dapat 7.500"
"untuk apa diminta masih sedikit, biarin dulu biar banyak"
"tapi ibu saya tidak punya beras bu, uangnya mau saya pakai buat beli beras"
"alah alasan saja kamu, pasti buat beli mainan. sudah sana masuk kelas"....
hilang sudah harapanku untuk bisa makan hari ini. karena satu pun penjelasanku tak dipercayai olehnya. akumenggerutu di dalam hati bahwa wali kelasku tak seperti wali kelas ketika di kelas satu. siang itu aku pulang dengan tangan hampa, memang sulit untuk dipercaya anak seusia 8 tahun akan memikirkan masalah dapur keluarganya.
setibanya dirumah aku hanya bisa terdiam dihadapan ibuku. "maaf bu tabunganku tidak dikasikkan oleh bu guru"
"gak papa sayang mungkin ada rezeki lain. hari ini kita puasa dulu gak papa yaa?"
aku hanya bisa mengangguk-nganggukan kepala dan mencoba untuk mengendalikan cacing-cacing di perut yang seakan-akan menjerit meminta makan. entah makanan apa yang akan memenuhi perutku maghrib nanti. sembari menanti maghrib tiba aku ikut membantu kakak mengembala kambing di ladang. aku masih terpikirkan uang 7.500 itu, aku tak habis pikir mengapa ada guru setega itu. hanya karena satu guru satu keluarga tak bisa makan.
suara adzan berkumandang begitu merdunya menandakan maghrib telah tiba. betapa bahagianya gadis kecil yang seharian menunggu waktu buka puasa tiba. aku pun berlari menuju ruang makan, tapi sangat disayangkan bahwa yang tersedia di meja makan hanyalah air putih. aku minum air itu hingga memenuhi perutku yang lapar, aku tak tahu apakah aku mampu bertahan hidup dengan keadaan yang seperti itu.
"dek sudah minumnya?, ayo kita sholat" ujar kakak laki-lakiku
aku pun ikut melaksanakan sholat maghrib dengan begitu khusuknya, usai sholat aku berdoa dalam hati. "ya Allah aku ingin suatu hari nanti penderitaan ini tak akan terulang lagi, aku tak mau menderita terlalu lama, aku ingin melihat orangtuaku bahagia ya Allah. Aamiin"
belum selesai kami melaksanakan ibadah sholat maghrib, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
"assalamualaikum... Ja ada dimana" ujar bu' de memanggil ibuku.
"waalaikum salam... ada apa Nu maghrib-maghrib gini kesini?"
"ini ada sedikit nasi buat keluargamu, sisa acara tahlilan tadi, sayang gak ada yang makan makanya aku bawa kesini. ini lauknya di dalam daun" sembari menyerahkan nasi setengah rantang besar.
sontak ketiga kakakku berlari menemui bu'de. sungguh rezeki yang tak terduga. kini perut kami yang kelaparan sejak pagi tadi akan terisi juga. aku masih membalikkan badan menghadap tempat sembahyang lalu kutegakkan kembali tanganku."terimakasih ya Allah hari ini kita bisa makan" sambil menetes air mata di pipiku yang mungil, aku pun tersenyum manis berharap Tuhan mendengar rasa terimakasihku malam itu, kemudian aku berbalik arah berlari menuju meja makan dengan begitu riangnya. kami makan dengan sangat lahap malam itu, seakan-akan telah lama tidak merasakan nikmatnya makan nasi dengan lauk yang lengkap.
melihat keadaan ekonomi keluarga yang semakin menyiksa menjadikan puasa adalah solusi terbaik untuk kami. entah niat apa yang harus diuacapkan dalam hati ketika puasa bukan pada hari yang ditentukan. tak ada kewajiban dan anjuran pada hari itu untuk berpuasa namun keadaan selalu memaksa mulut untuk tak menyantap apapun seharian penuh. sampai di suatu hari kakak laki-lakiku menceritakan sejarah Sang Rasul Muhammad bahwa Ia selalu melakukan ibadah puasa pada hari senin dan kamis. dari sanalah aku menjadikan puasa sebuah alasan untuk beribadah bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga tanpa mendapat penghargaan dari sang Ilahi.
ekonomi semakin merosot namun pendidikan harus terus berlanjut. salah satu cara untuk aku dapat mengubah hidup ialah dengan pendidikan yang bagus, bekal yang cukup yang akan dapat membawaku ke lorong-lorong kehidupan bak syurga di masa depan nanti. meskipun kini hanya bermodalkan seragam bekas dan sepatu yang bolong sebesar bola bekel di bagian bawahnya, aku harus tetap menempuh pendidikan dan sekolah gratis menjadi modal utama bagiku dalam menempuh pendidikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Anak Ayahku
Short Storycerita ini berdasarkan pengalaman penulis dalam mengarungi bahtera kehidupan