Seragam 40 ribu

4 0 0
                                    

Bagi sebagian orang seragam sekolah adalah sesuatu yang mudah untuk di dapat. Tapi bagi sebagian yang lain seragam merupakan darah dan airmata yang harus diperjuangkan. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar. Pergulatan hidup di masa kecil membuatku tak pernah merasakan betapa bahagianya dunia anak-anak. Keseharianku aku habiskan untuk membantu orangtua mencukupi kebutuhan keluarga, sedangkan untuk sekolahku sendiri aku pun masih terpontang panting.

Masih ku ingat seragam merah putih seharga 40 ribu yang ku beli dari hasil jerih payahku sendiri. Pada masa itu 40 ribu itu adalah uang yang banyak, baju seharga 40 ribu itu tergolong mahal melihat nilai rupiah yang masih kecil saat itu. Aku mengumpulkan uang itu selama berbulan-bulan dari menjadi kuli tembakau milik tetangga, hanya demi ingin memakai seragam baru. Ketika pertama kali aku memakai seragam itu rasa senang dan bangga seakan bercampur dalam diri. Aku menyusuri lorong berdebu menuju sekolahku dengan begitu gagahnya. Panas di kaki karena tanah yang keras dan panas menyentuh telapak kakiku, melewati lubang sebesar bola bekel di bagian bawah sepatuku seakan tak aku rasakan. 'begini rasanya memakai seragam baru' gumamku dalam hati.

Pagi itu aku begitu semangat untuk bersekolah, tak peduli walau kantong baju sepi tak berpenghuni, tiada uang saku pagi itu. Tapi aku tetap berangkat dengan semangat yang membara di dalam hati. Aku tak lagi malu dengan seragam bekas yang kucel dan jelek. Kini aku sama dengan mereka. Dengan begitu bangganya aku berdiri di barisan paling depan untuk mengikuti upacara pagi itu. Kepercayaan diriku seakan naik, derajat seakan terangkat sedikit demi sedikit. Sebab mereka masih begitu labil menilai orang hanya dari cara berpakaian.

Ketika tiba pada saat mengheningkan cipta, mataku tertuju pada sepatuku yang hampir sobek di bagian depan, dan lubang sebesar bola bekel yang mengganggu di bagian bawah sepatuku. Lagi-lagi seakan hilang kepercayaan diri. Mataku tak diam pada satu pandangan untuk mengenang jasa para pahlawan, tetapi ia melirik ke kanan kiri memperhatikan sepatu-sepatu yang dipakai teman-temanku. Hanya sedikit tidak percaya berdiri bukan berarti aku menyerah. Ku angkat kembali kepala yang beberapa menit merendah. Ku songsong kembali rasa percaya diri 'masih ada hari esok untuk berjuang' gumamku dalam hati.

Kendatipun nasib begitu buruk menimpaku, namun tak pernah terlintas dihatiku mengapa aku ditakdirkan begitu. Aku selalu percaya bahwa akan ada masa untuk bahagia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Anak AyahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang