Apakah aku cinderella

20 3 1
                                    

Setelah kejadian malam itu aku ditemukan bi asih pingsan dengan kepala berlumuran darah dan segera dibawa kerumah sakit karena selain aku mengalami benturan di kepala aku juga menderita demam yang sangat tinggi terlebih kondisiku yang lemah karena belum makan selama 2 hari aku pikir akan mati tapi ternyata Tuhan masih berbaik hati padaku.
Untuk memberiku kesempatan bertanya pada orang yang ku panggil mama dan papa itu. apakah benar mereka orang tuaku? Jika memang bukan, bukankah aku harus terima kenyataan. Apapun jawabannya nanti apakah bisa tabah seperti cinderella hingga akhirnya aku bisa bahagia dikemudian hari.

"carissa harus di rawat beberapa hari disini" kata dokter yang suaranya bisa terdengar jelas dari balik gorden putih yang menjadi sekat ruang inapku

"baiklah dokter" jawab suara berat laki-laki yang sangat ku kenal.. Papa.
Aku ingin memanggilnya, aku ingin melihat wajahnya, aku ingin bertanya.

"papa.." suaraku lirih dan pelan tapi aku yakin bisa didengar

"kamu sudah sadar. Dokter bagaimana keadaannya sekarang?" ucap papa nampak khawatir

"kondisinya mulai membaik pak tapi dia masih tetap harus butuh istirahat dan kami akan melakukan rontgen kepala. Saya permisi untuk menyiapkan pemeriksaannya"

Papa hanya mengangguk lalu menatapku iba
Tak pernah aku mendapatkan perhatian papa seperti sekarang ini. Rasanya aku sedikit bersyukur karena terluka. Papa berjalan mendekat aku ingin menyentuh tangannya. Aku ingin dibelai rambutku seperti yang dilakukannya pada mama saat sedang marah, saat kak nana sedang menangis.

"maaf karena kami, kamu mengalami semua ini caris" ucap rudy bersalah.
untuk pertama kalinya papa menyebut namaku. Aku bahagia.
"dan terima kasih karena kamu tidak mati" lanjutnya pelan tapi masih tetap terdengar jelas oleh caris yang tengah berbaring lemah di hadapannya dengan infus tertancap di tangannya.

"iya pa ku pikir aku pasti mati malam itu" ucapku sembari tertawa kecil

Untuk sesaat papa hanya terdiam lalu memijat keningnya perlahan. Aku tahu ia lelah, bodohnya aku malah berkata-kata seperti itu malah membebani papa. Tapi untuk sekian lama papa mau berbicara lama denganku seperti sekarang ini. Apakah karena merasa bersalah telah membiarkanku di ambang kematian. Ini kesempatanku untuk bertanya hal yang membuat dadaku sesak selama ini yang tak pernah ku temukan jawaban yang pasti.

"pa.. Aku ingin bertanya?"

"apa yang ingin kamu tanyakan?" jawab papa sembari menarik kursi dan duduk dekat ranjang tidurku

"apa..kah aku benar anak kandung kalian.. atau salah satu anak kandung kalian?"

"kamu bukan anak kandung kami" jawab ayah singkat memejamkan mata lalu berakata "maaf!"

Bagai petir disiang bolong, seharusnya aku tak perlu kaget karena sudah bisa dipastikan aku bukan siapa-siapa melihat perlakuan mereka padaku jauh berbeda dari perlakukan yang mereka berikan pada nana

Mendengar jawaban itu mulutku tak mampu harus berkata apapun. Kaku. Hanya bisa memejamkan mata dan menangis. Sungguh gelap. Tunggu aku harus bertanya sesuatu lagi.

"kalau papa sama mama bukan orang tua kandungku lalu siapa orang tua kandung ku?"

"kamu keponakan kami" jawab papa namun tersirat dari manik matanya bahwa ia iba padaku

"haruskah ku panggil paman?"

Papa hanya mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya.

"lantas kenapa kalian menganggapku anak? Dan membiarkanku memanggil kalian papa dan mama? Namun kalian menyembunyikanku dari dunia?" tanyaku penasaran yang telah lama ku pendam dalam hati yang paling dalam

Separuh BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang