Part 2

21 8 0
                                    

Jam di kamar gue sudah menunjukan pukul 7 malam. Gue masih asyik menarikan pena di atas buku untuk mempelajari rumus fisika yang tadi gue pelajari di sekolah.

Ponsel gue berdering saat pena gue baru aja mau menggoreskan angka 2 di atas buku. Dan ternyata, setelah gue cek layar, nama Bintang yang tertera di sana.

Tanpa basa-basi, gue segera menggeser layar dial up.

"Ganggu ish, gue lagi belajar. Pesenannya taro aja di dapur," kata gue sesaat sesudah menempelkan ponsel di telinga kanan gue.

"Dih ge er. Sabar kali, Val. Itu gampang, sekarang lo ke rumah gue dulu aja. Papi Mami lo, udah ada di sini," sahut Bintang.

"Ngapain?" tanya gue heran.

Gimana nggak heran, tadi mereka nyuruh gue belajar. Sebelum gue ngerti rumus fisika tadi, mereka nggak ngebolehin gue makan malem. Ini tiba-tiba udah ada di rumah Bintang.

"Vale?! Masih napas, kan? Sini buruan." Suara Bintang yang nyaring, bikin gue sedikit tersentak.

Gue langsung menutup buku paket fisika gue dengan kasar.

"Oke, on my way," kata gue sebelum mematikan sambungan telepon kami.

Nggak sampai lima menit buat gue sampai di rumah Bintang. Setiba gue di sana, mereka semua udah kumpul di meja makan. Tumbenan mereka makan malem bareng di hari biasa.

Biasanya, kami makan malem bersama kalau akhir pekan aja. Karena kata Papi, biar nggak mengganggu waktu belajar gue sama Bintang. Klise.

"Vale, kok bengong? Sini sayang," panggil Papi sambil melambaikan tangannya ke arah gue.

Gue langsung mendudukan diri dengan manis di sebelah Bintang yang tiba-tiba meletin lidahnya ke arah gue. Gue menggeleng sambil menatap jijik Bintang.

Nggak ada obrolan apa pun saat kami makan. Kami semua menyantap makanan yang tersedia dengan khidmat.

Setelah acara makan malam, kami berkumpul di ruang keluarga rumah Ardana, terkecuali Papi sama Papa Mereka udah asyik ngopi sambil ngobrol di gazebo belakang.

Posisi kami di ruang keluarga itu kayak gini. Mami dan Mama duduk di sofa, sedangkan gue dan Bintang duduk di karpet, dia udah sibuk sama game di ponselnya sambil tiduran di paha gue. Jangan heran, kami udah biasa, kok.

"Mami denger, tadi pagi kamu kena hukuman karena telat?" tanya Mami Tatjana membuka obrolan.

Gue mengangguk antusias. "Iya, gara-gara dia, nih, Mi," sahut gue sambil nyentil dahi Bintang lumayan kenceng.

Ngomongin hal yang terjadi tadi pagi, membuat kekesalan gue pada Bintang kembali.

Bintang meringis lalu ngusapin dahinya yang terlihat sedikit merah. "Apaan, sih?! Kekerasan, nih, namanya! Gue aduin Kak Seto tahu rasa, lo!" misuh Bintang.

Mama sama Mami udah ketawa aja liat Bintang yang kalau ngomong suka heboh sendiri.

"Lo yang apaan, kalau tidur udah kayak orang mati," timpal gue yang udah gemes pengen nampol.

Bintang mem–pause game yang tadi dia mainkan lalu merubah posisi dirinya menjadi duduk.

"Gue bela-belain nggak mandi biar lo nggak telat. Masih aja disalahin. Hargai pengorbanan gue, dong!" kata Bintang nggak kalah nyaring dari sebelumnya.

"Udah dong, Bi. Turunin oktaf suara kamu kalau ngomong. Kuping Mama sakit dengernya," kata Mama Belinda sambil nutupin kedua telinganya.

Bintang langsung diem. Netra kami bertemu dengan tatapan yang sama-sama nyalang.

WonderwallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang