Part 3

14 4 0
                                    

•••


S

ekolah masih sepi saat gue menginjakan kaki di depan gerbang GIS. Senyum miring gue tercetak jelas saat mengingat tantangan yang Papa Bagas kasih untuk gue dan Bintang. Hari ini sengaja gue datang nggak bareng Bintang, gue nggak mau kejadian kemarin terulang kembali.

Gue menghela napas sebelum melangkah tegap dengan dagu terangkat ke atas, membelah koridor sekolah yang hanya baru dihuni oleh beberapa siswa saja.

Beberapa siswa yang sudah datang menatap gue bersahabat, kagum, iri, dan tidak sedikit juga yang memandang benci—gue tahu, kerena itu pasti ke arah gue. Dibalik kesempurnaan yang gue ciptakan, gue selalu bersikap bersahabat bagi siapapun yang mau bersahabat dengan gue—tapi ga ada satupun yang mau jadi sahabat gue kecuali, ya, si Bintang. Gue bukan makhluk introvert, hanya saja gue menjunjung tinggi kesempurnaan. Mungkin karena hal itu, makanya anak-anak di kelas gue agak jaga jarak dari gue.

"Pagi, semuanya!" seru gue saat tiba di pintu kelas.

Nggak lupa juga, gue menyungginggkan senyum terbaik gue. Tapi, semua siswa di kelas gue malah menatap gue dengan tatapan aneh.

"Si perfectionist datang!" ucap Dean Bagaskara si ketua kelas.

Well, gue sudah terbiasa dengan panggilan itu. Jadi, gue nggak pernah sakit sama perlakuan temen-temen gue.

Gue bergegas untuk duduk di bangku paling depan jajaran tengah. Lalu, mengeluarkan buku matematika. Entahlah gue bisa konsentrasi atau enggak pagi ini. Sebab, mami dan papi dari gue bangun udah menceramahi gue untuk tidak kalah dari Bintang. Hhh ... nyebelin.

Saking gue terlena dengan rumus matematika, nggak kerasa bel masuk kelas sudah berbunyi aja. Kelas yang sebelumnya sepi kini sudah berpenghuni. Bintang, ke mana dia? Kenapa belum datang? Atau dia tidak masuk? gue hanya bisa bertanya sendiri hingga suara yang sangat gue kenal menyapa rungu gue.

"Vale, lo kenapa ninggalin gue?"

Akhirnya datang juga si Bintang, mukanya kusut banget. Gue tahu dia pasti lari pontang panting ke sekolah.

"Woiy! Orang nanya tuh dijawab!" Bintang udah duduk di samping gue.

"Buru-buru, mau belajar matematika dulu," jawab gue singkat, lalu melanjutkan kembali aktifitas gue yang sempat terhenti karena mengkhawatirkan Bintang yang belum datang.

"Bohong," gumam Bintang, jarak antara gue dan Bintang ga lebih dari 10 centi, nggak mungkin gue nggak denger.

"Gue tahu lo dari kecil, Val. Lo pasti sengaja," gumam Bintang lagi. Gue yakin, bibir Bintang saat ini lagi manyun.

Bintang masih terus mendumal sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Sedangkan gue pura-pura nggak peduli. Gimana, ya, soalnya dia juga nggak akan pernah nganggep pertengkaran kecil kayak gini. Jadi, gue diemin aja.

Kami ini bagaikan langit dan bumi, gue si penyuka persaingan dan nggak akan pernah kalah, dalam artian gue juga ambisius. Sedangkan Bintang? Jangan ditanya, dia lebih suka dengan apa adanya diri dia. Bintang nggak pernah suka persaingan.

Tapi mungkin, karena hadiah dari persaingan ini adalah pergi ke Berlin—Negara yang pengen banget kami datengin—makanya Bintang terpaksa nerima tantangan ini.

•••

Bel istirahat berbunyi, membuat semua siswa di kelas gue langsung berhamburan keluar tanpa memperdulikan Pak Gilbert guru matematika kami yang masih ada di kelas.

WonderwallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang