"Mi, Pi, Vale berangkat dulu. Udah telat banget ini. Belum bangunin si Bintang yang tidurnya kayak orang mati," kata gue sambil nyium pipi Mami sama Papi yang lagi sarapan.
"Hati-hati! Bilangin mamanya Bintang, arisan nanti di rumah Mami," kata Mami yang gue jawab, "Iya."
"Nggak mau berangkat sama Papi?" tanya Papi.
"Next time, Pi. Bye!" Gue melambaikan tangan ke arah keduanya lalu berjalan ke luar menuju rumah Bintang.
Kenalin, Nama gue Elliot Valerie, sebuah nama yang indah pemberian dari kedua orang tua gue. Tentunya dengan harapan gue bisa tumbuh menjadi anak yang kuat, pemberani, dan sempurna dalam segala hal yang gue lakuin.
Orang di sekitar gue sering manggil gue dengan Vale, bukan Elli yang merupakan nama depan gue. Bintang orang pertama yang manggil gue dengan nama itu, makanya gue seneng sama panggilan itu. Bahkan kedua orang tua gue sekarang manggil gue dengan Vale. Padahal, waktu kecil keduanya panggil gue Erie.
Vale itu gambaran dari keberanian dan kekuatan, for your information.
Gue adalah gadis remaja berumur 17 tahun, yang hidup dengan tuntutan harus selalu sempurna, apa pun itu. Dimulai dari nilai, penampilan, juga gaya hidup.
Sekolah gue sama Bintang itu sama, kami bersekolah di Global International School yang disingkat GIS. Peringkat pertama dalam kelas bahkan satu angkatan, bukan hal sulit bagi gue selama bersekolah di sana. Sempurna 'kan? Itu adalah salah satu contoh kesempurnaan hidup gue.
"Gila, Val! Lo juara kelas sama juara umum lagi!" Itu adalah kalimat yang akan selalu gue denger dari temen-temen gue setelah pembagian rapot.
Semua temen gue kagum dengan apa yang gue raih, kecuali satu orang. Siapa lagi kalau bukan Bintang Tristan Ardana, sahabat gue dari orok. Dia selalu berpikir kalau kesempurnaan yang gue ciptakan itu menyesakan, karena Bintang rasa, hal itu terkesan terlalu dipaksakan.
Bintang juga selalu punya cara sendiri supaya gue terlepas dari semua tuntutan. Hari ini misalnya, gue udah rapi dan siap buat berangkat ke sekolah. Hari ini adalah hari pertama kami memulai tahun ajaran baru di kelas 12, tapi dia malah masih asyik ngebo. Padahal udah jam 6 pagi.
Gue nggak perlu izin dari mamanya Bintang buat masuk ke kamar Bintang. Mengingat rumah Bintang sudah seperti rumah kedua bagi gue.
"Bintang, bangun nggak?!" Gue menarik selimut yang membungkus tubuh Bintang dengan sekali tarik.
Perlakuan gue sukses bikin Bintang terduduk lalu membuka matanya sebentar. Tapi nggak lama dia balik lagi buat tidur dan malah menghiraukan gue.
"BINTANG!" Vokal gue naik beberapa oktaf. Gue menguncang tubuh Bintang berharap dia keganggu terus bangun. Dia cuma menggeram lemah tanpa mau membuka mata.
Demi kerang pedas!
Gue nggak mau telat di hari pertama gue. Menghadapi Bintang di pagi hari, bisa bikin gue mati berdiri.
"Lima menit lagi, ya, Val. Mata gue masih berat." Bintang ngambil selimutnya yang tergeletak di lantai lalu membungkus dirinya lagi.
Gue berdecak terus berjalan menghentak keluar kamar Bintang. Di depan pintu, gue berpapasan sama Mama Bintang. Dia tersenyum ke arah gue.
"Bintang belum bangun?" tanyanya lembut. Gue cuma menggeleng lemah.
"Ya udah, tunggu di bawah sama Papa. Biar Mama yang bangunin dia," kata Mama Belinda.
Jangan heran kalau gue manggil mereka 'Mama Papa' juga. Mereka adalah orang tua kedua bagi gue.
Kaki gue menapaki tangga untuk turun dan menghampiri Papa Bagas yang sedang menikmati kopinya di ruang tengah sambil baca koran. Gue duduk termenung di samping beliau, berkali-kali gue menatap jam tangan yang melingkar di tangan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderwall
Roman pour AdolescentsValerie sama Bintang itu kayak Tom & Jerry. Kadang akur, kadang berantemin hal yang nggak penting. Tapi, hubungan mereka baik-baik aja. Sampai permasalahan pelik datang di antara mereka. Membuat Bintang juga Valerie sadar kalau ternyata mereka sal...