16

65.1K 3.5K 31
                                    

"Kaki kamu udah mendingan?"

Setelah perkacapannya dengan Rubi, Arkan pergi ke pos tempat Qira beristirahat. Untuk memastikan bagaimana kondisi Qira saat ini.

"Setelah di obati oleh Dokter Ayana, keadaan saya jauh lebih baik. Tapi sayangnya saya tidak boleh berjalan terlebih dahulu untuk satu hari."

Qira mencebik kesal. Dia paling tidak suka berdiam diri tanpa melakukan apapun, karena itu akan terasa sangat membosankan.

Apalagi malam ini jadwalnya seluruh dokter untuk berkumpul dengan anak-anak di desa ini. Qira akan melewatkan hal ini. Padahal itu adalah moment yang sangat di tunggu-tunggu oleh Qira, karena Qira sangat menyukai anak kecil.

"Syukur kalau kamu sudah mendingan. Saya benar-benar takut terjadi apa-apa dengan kamu."

"Saya baik-baik saja, dan terima kasih."

Qira tersenyum ke arah Arkan, dan dibalas senyuman pula oleh Arkan.

Arkan mengarahkan tangannya untuk mengusap lembut kepala Qira. Hal itu membuat Qira sedikit terkejut.

"Saya akan melakukan apapun demi keselamatan kamu."

Qira mengerjapkan matanya pelan. Perkataan Arkan membuat jantungnya berdebar kencang. Padahal bukan kali pertama bagi Arkan mengucapkan kata-kata manis untuk Qira. Tapi untuk kali ini berbeda, ada rasa aneh yang membuncah dihatinya.

"Ar..kan..Kamu.."

Arkan tersenyum, dia mengerti dengan situasi seperti ini. Perkataannya barusan, pasti menimbulkan kecanggungan dari diri Qira.

"Saya sayang kamu Qira. Ah-bukan sayang lagi, tapi saya cinta kamu."

Qira kembali mengerjapkan matanya. Apa dia tidak salah dengar?! Arkan menyatakan perasaannya?! Qira tau ini bukan hal baru lagi, tapi Arkan menyatakan perasaan dengan cara yang normal adalah kali pertamanya.

Entah mengapa perasaan Qira menghangat setiap melihat sisi normal Arkan.

Qira masih diam membisu, jujur dia binggung harus menjawab apa. Sesungguhnya ini bukan waktu yang tepat untuk membahas semua itu. Bahkan Qira sendiri tidak yakin dengan apa yang dia rasakan.

"Saya ga tau harus jawab apa. Saya.."

Arkan menempelkan jari telunjuknya kearah bibir Qira.

"Arkan jauhin tangan kamu dari bibir saya!"

Qira menyentakkan jari Arkan. Arkan yang ditatap tajam oleh Qira masih binggung apa kesalahannya. Apa dia terlalu lancang dengan perilakunya berusan?!

"Tangan kamu bau banget Arkan! Kamu abis pegang apa tadi?!

Arkan melotot, dia kira Qira marah karena kelancangannya, ternyata karena tangannya yang bau. Niat ingin romantis jadi malah gagal total!

Mendengar ucapan Qira barusan membuat dia penasaran apa tangannya benar-benar bau. Atau itu hanya akal-akalan Qira saja.

Arkan mendekatkan jemarinya ke hidungnya. Mencium aroma jemarinya.

"Huekk...Ini bau kotoran! Kenapa tangan saya bisa bau gini." Tanpa disengaja Arkan kembali mendekatkan tangannya kearah Qira.

"Arkan! Saya kan sudah bilang jauhin tangan kamu dari saya!"

Mendengar teriakan Qira sontak membuat Arkan menjauhkan tangannya.

"Maaf, saya bener-bener ga tau kenapa tangan saya bisa se bau ini." Arkan menatap binggung kearah tangan-tangannya.

"Tadi habis dari hutan kamu udah cuci tangan?" Arkan menggeleng. "Ya pantesan bau, pasti waktu kamu cari makan buat saya tangan kamu menyentuh sesuatu."

Ah, Arkan mengingatnya, dihutan tadi memang Arkan tidak sengaja menyentuh lumpur karena terpeleset. Karena di sana tidak ada air, Arkan akhirnya mengelapkan tangannya ke pohon disana.

"Yaudah kalo gitu saya cuci tangan dulu."

Sebelum kaluar dari pos. Arkan menoleh kearah Qira dan mengucapkan sesuatu.

"Qira, pasti baju kamu juga bau, kan saya tadi gendong kamu pakek tangan bau saya."

"ARKAN!"

***

"Kamu mau kemana?"

Arkan langsung menghampiri Qira saat melihat Qira yang hendak turun dari ranjangnya.

"Mau mandi badan aku lengket dari tadi pagi belum mandi."

"Kalau mau kemana-mana itu bilang dulu."

Arkan kembali membopong tubuh Qira, membuat Qira membelalakkan matanya.

Ketika Qira hendrak protes. Mulutnya langsung bungkam karena perkataan Arkan.

"Inget kan kata Dokter Ayana, kamu gaboleh jalan dulu. Jadi untuk sementara waktu kemana-mana biar saya yang gendong."

Qira harus mengangguk pasrah. Dia tidak bisa mendebat Arkan untuk saat ini. Apapun yang Qira katakan nanti pasti akan disangkal oleh Arkan.

Qira menunduk malu, ketika semua Dokter menghujani mereka dengan tatapan berbeda-beda. Pasti seluruh Dokter disana mengira bahwa Qira mempunyai hubungan khusus dengan Arkan.

Ada pula tatapan yang seolah ingin menggantikan posisi Qira. Wajar saja, diperlakukan layaknya putri oleh seorang Gafariz Arkana Rafardan adalah impian semua wanita.

"Kamar mandinya disini?" Qira mengangguk. Kemudian Arkan mendudukkan Qira dibangku yang berada di kamar mandi tersebut.

Setelah itu Arkan keluar. Namun dia enggan pergi dari tempat tersebut. Arkan lebih memilih menunggu didepan pintu kamar mandi.

Bukan ada maksud apa-apa. Dia hanya tidak ingin ada yang mengintip Qira. Kamar mandi ini sangat rawan. Meskipun keempat sisinya tertutup, namun bagian atasnya tidak ada atap. Apalagi kamar mandi ini hanya terbuat dari bambu.

Kalau ada yang iseng kan bisa aja Qira diintipin. Pokoknya gue ga rela! Kalo gue yang ngintip sih gapapa.

Setelah menunggu beberapa manit, Arkan mendengar suara dari Qira.

"Siapapun yang ada diluar, tolong bukain pintunya."

Arkan pun langsung membuka pintu kamar mandi tersebut.

"Kamu udah selesai mandi?"

Qira mengangguk. Kemudian Arkan membawa Qira ke gendongannya untuk keluar dari kamar mandi tersebut.

"Saya kira kamu udah pergi."

"Saya ga bisa ninggalin kamu, takut ada yang ngintipin kamu mandi."

Qira mencubit pelan lengan Arkan. Membuat Arkam sedikit meringis kesakitan.

"Siapa juga yang mau ngintipin." Qira mencebik kesal.

"Oh ya Arkan, maaf ya saya jadi ngerepotin kamu."

Qira merasa bersalah dengan Arkan. Arkan pasti capek kesana kemari membopongnya.

"Saya ga pernah merasa direpotkan. Kalau itu berkaitan dengan kamu."







Tbc

My Crazy CEO (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang