15

66.3K 3.6K 22
                                    

"Saya cuma bisa menemukan buah ini saja. Gapapa kan?"

Qira mengangguk, setidaknya pisang dan jambu bisa menganjal perutnya yang lapar. Arkanlah yang telah mencarikan buah-buah ini untuk Qira. Entah seberapa pekanya pria ini, yang jelas Arkan selalu tau apa yang diinginkan Qira, termasuk perut Qira yang merasa lapar.

Keduanya memang belum kembali ke pos. Dengan alasan kondisi Qira yang belum memungkinkan. Padahal itu hanyalah alasan Arkan belaka! Dia masih sangat kuat membopong Qira sampai ke pos, yang tidak akan berpengaruh dengan kondisi kaki Qira. Hanya saja Arkan ingin lebih lama berduaan dengan Qira.

Modus!

"Makasih, karena kamu sudah menyelamatkan saya. Kalau ga ada kamu, mungkin saya sudah mati dibunuh mereka."

"Tuh kan belum jadi pacar aja, udah bisa jagain kamu apalagi kalau udah. Makanya kamu mau dong jadi pacar saya."

Qira memutar bola matanya malas, baru saja dia kagum dengan Arkan. Sudah muncul lagi sifat absurdnya.

Karena sebal, Qira melemparkan kulit pisang kearah Arkan.

"Jangan ngomong sembarangan."

Bukanya marah, Arkan malah terkekeh. Dia sangat merindukan sikap Qira yang seperti ini. Galak namun menggemaskan.

"Kamu makannya udah selesai kan?" Qira mengangguk. "Yaudah kalo gitu kita lanjutin perjalanannya. Keburu malem."

Arkan bangkit dari duduknya. Tangannya diarahkan untuk kembali membopong Qira, yang membuat Qira sedikit memberontak karena terkejut.

"Kok kamu gendong aku lagi sih."

"Emang kamu udah bisa jalan sendiri?"

Qira mengangguk ragu. Sebenarnya dia tidak terlalu yakin. Luka dikakinya masih menimbulkan rasa nyeri. Kalau bukan karena dikejar orang-orang itu, Qira tidak akan jatuh tersungkur yang membuat kakinya luka seperti ini.

"Bu Dokter jangan bandel deh. Kalau dibuat jalan, nanti lukanya jadi makin parah. Jadi mending saya gendong aja."

Qira memberenggut kesal. Memang ada benarnya juga perkataan Arkan. Tapi, posisi seperti ini membuat Qira tidak nyaman! Berada digendongan Arkan dengan jarak sedekat ini membuat kepala Qita berdenyut nyeri.

Selama diperjalanan Qira hanya diam menyembunyikan kegugupannya. Dia juga merasa bersalah karena membuat Arkan berjalan dengan beban dua kali lipat. Qira sangat amat sadar, tubuhnya tidaklah kecil, pasti Arkan kelelahan menggendongnya. Padahal bagi Arkan, menggendong Qira sama saja dengan membawa triplek. Sangat ringan!

Sesampainya di sana Arkan dan Qira dihujani tatapan oleh masyarakat desa dan para dokter disana.

"Bisa tolong beri kamu tempat istirahat? Khususnya Dokter Qira. Karena kondisinya sedang tidak baik-baik saja."

"Mari ikut saya." Ucap salah satu warga disana, yang Arkan yakini itu adalah pemimpin di desa ini.

Setelah mengantar Qira ke tempat peristirahatan. Arkan menemui orang yang menawarkannya tempat ini tadi.

"Anda pemimpin disini?"

"Bisa dibilang seperti itu. Perkenalkan nama saya Rubi."

Rubi mengulurkan tangannya dan disambut uluran tangan juga oleh Arkan.

"Nama saya Arkan."

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Dokter Qira."

"Tadi Qira diserang oleh warga yang ada di desa seberang. Karena dia dituduh penyusup."

Rubi mengangguk paham. Bukan kali pertama ada orang yang diserang oleh warga didesa tersebut. Bahkan ada yang sampai dibunuh.

"Mereka memang seperti itu. Dulu kita ini satu desa, namun karena ada pertikaian akhirnya desa ini di bagi menjadi dua. Yang satu di barat hutan dan yang kami tempati ini di timur hutan. Beruntung sekali warga didesa ini masih bisa berfikir rasional, tidak menyakiti orang lain jika tidak terbukti bersalah. Ya meskipun desa ini tidak tenang karena serangan-serangan dari desa seberang."

"Serangan?"

"Ya banyak sekali teror yang mereka kirimkan. Bahkan pernah membakar rumah salah satu warga disini."

Arkan miris mendengar penuturan Rubi. Membayangkannya saja sudah membuat Arkan bergidik ngeri.

Keputusannya untuk menyusul Qira memanglah tepat. Bagaimana bisa dia membiarkan Qira di tempat seperti ini. Banyak sekali ancaman yang didapat, yang tentunya akan membahayakan keselamatan Qira.

"Kalau boleh tau untuk apa kamu kemari? Kamu tidak sedang mengincar wilayah kami untuk proyek kan?"

Arkan meneguk ludahnya kasar. Dia harus berhati-hati berhadapan orang seperti ini, yang terkesan sensitif. Setelah melihat tempat ini, memang terlintas ide untuk menjadikannya bisnis. Namun, sepertinya otak bisnisnya harus dikesampingkan terlebih dahulu, untuk menjamin keselamatan Qira.

"Tentu saja tidak, saya kesini untuk menemui Qira."

"Kamu suami dokter Qira?"

Arkan melotot. What?! Suami?! Aminin ga ya?! Aminin lah! Itukan impian Arkan banget.

"Lebih tepatnya calon suami."

***

"Ini pasti ulah kamu kan?"

Wanita itu tidak memperdulikan ucapan Eza. Dengan santai dia melangkahkan kakinya menjauhi Eza.

Karena jengah dengan ulah wanita itu, Eza menarik kasar pergelangan tangan wanita itu hingga tubuhnya membentur tembok.

"Kamu kan yang membuat saya dipulang tugaskan?!"

"Bukannya lo tau jawabannya apa?" Ayesha memainkan telunjuknya di area wajah Eza, membuat Eza melotot tak percaya. Dalam kondisi seperti wanita ini masih saja menggodanya.

"Ayesha!" Eza menyentakkan jemari Ayesha dari wajahnya. Membuat Ayesha tersenyum sinis.

"Gue udah bilang kan, jauhin Qira. Kalau lo mau hidup lo tenang."

Ayesha mendorong pelan tubuh Eza agar menjahuinya. Kemudian melangkahkan kakinya keluar. Bibirnya tersenyum licik.

Apapun akan gue lakuin buat Mas Arkan, termasuk nyinkirin lo Eza!

My Crazy CEO (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang