Pagi ini hawa perkotaan terasa sangat dingin sebab semalaman diguyur hujan tidak ada hentinya, ditambah lagi AC pada mobil Bhumi yang sangat dingin serta cakrawala yang masih bermuram durja. Mala memeluk tas ransel birunya yang diletakkan dalam pangkuannya. Bhumi seolah mengerti, kemudian memberikan jaket yang ia ambil dari jok belakang mobil pada Mala.
Mala memakai jaket bomber hitam yang diberi oleh Bhumi, "Rasa-rasanya baunya lain," Mala tersenyum kecut.
Bhumi memang biasanya selalu tampil rapi dan wangi, tetapi kali ini wanginya berbeda. Jelas Mala sudah mengenali wangi parfum Bhumi karena mereka sering menghabiskan waktu bersama. Wanginya ya pasti itu-itu saja. Namun, kali ini wanginya sepertu parfum perempuan.
"Ah, mungkin perasaanmu saja," ia coba mengelak.
Mala tidak melanjutkan, jelas ia tahu seseorang telah memakai jaket itu sebelumnya.
Dua bulan berlalu, Mala belum juga berhasil menemukan jawaban dari teka-teki di pikirannya maupun perasaannya. Ia belum bisa membongkar satu rahasia yang selama ini ia pendam, belum juga memberanikan diri bertanya siapakah gadis yang selama ini dikabarkan dekat dengan sahabatnya. Ia pernah mencoba bertanya pada Dito, tetapi sepertinya laki-laki itu enggan memberi tahu dan lebih memilih mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apa-apa.
"Nah, soulmate kita sudah datang. Silakan duduk bos," goda teman-teman Bhumi saat mereka tiba di kantin kampus.
"Oh, jadi yang ini Bhum? Lalu, yang satunya gimana?" sahut temannya yang lain.
"Ah, pemain benar kamu ini, Bum. Bagi tipsnya!"
Mendengar perkataan teman-teman Bhumi, tiba-tiba dada Mala seperti tertancap ribuan anak panah. Apalagi saat melihat sahabatnya hanya tertawa lalu menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan teman-temannya yang menggodanya.
Perkuliahan telah selesai, Bhumi berkumpul dengan teman-temannya di sudut kantin. Mereka terlihat asyik membicarakan sesuatu. Sesekali teman-temannya menggoda mahasiswi yang tengah berjalan memasuki kantin atau yang akan keluar dari kantin. Suara tawa mereka menggelegar sampai terdengar di lorong kampus yang berada belasan meter dari area kantin.
"Nah, cari pacar ya yang seperti ini baru ajib," ucap salah satu temannya pada Bhumi sembari mendekati mahasiswi yang berpenampilan seksi.
"Atau yang kemarin saja tuh, boleh juga."
Temannya yang lain tertawa, "Ya kalau gitu yang tadi buat aku saja."
Beberapa detik setelahnya, teman-teman Bhumi sikut-sikutan saat melihat Mala berdiri beberapa meter di dekat mereka. Mereka langsung diam dan hanya berani berbisik satu sama lain. Entah apa yang dilakukan sahabatnya, padahal pagi tadi mereka masih dengan percaya diri menggodanya.
"Kenapa pula kamu harus berteman dengan anak-anak begajulan seperti mereka?" tanya Mala sembari berjalan menuju tempat parkir.
"Mereka itu cuma bercanda, aku mengenal baik mereka. Kamu juga enggak perlu khawatir kalau aku akan seperti itu."
"Siapa yang khawatir? Aku cuma enggak suka melihat spesies laki-laki seperti mereka. Najis!"
Bhumi tertawa, ia mengerti, bahkan sangat mengerti tentang kekhawatiran sahabatnya. Berjuta kali Mala mengelak, berjuta kali pula ia bisa menebak apa yang dipikirkan sahabatnya. Ia akan tetap meyakinkan sahabatnya, bahwa kekhawatirannya tidak akan pernah terjadi. Sesampainya di mobil, bukannya melajukan mobilnya segera pulang justru ia tiba-tiba menelepon Bu Pra, meminta izin karena akan terlambat mengantarkan anaknya pulang.
Mala hanya meliriknya meskipun ia tidak tahu mereka akan pergi ke mana, malas bertanya. Ke manapun Bhumi akan membawanya, pasti tempat itu sangat menyenangkan seperti tempat-tempat sebelumnya yang pernah mereka datangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Rahasia
Teen FictionSebuah cerita yang penuh teka-teki belum tentu tidak akan terpecahkan. Dari sini, sesuatu yang rumit bisa menjadi sebuah pelajaran berharga.