Wanita berumur yang masih berparas cantik itu berdeham. Sesekali jemarinya bergetar saat menyentuh permukaan foto. Ia sembunyikan rasa sakit yang selama ini ia tahan. Baginya, yang terpenting adalah anaknya.
Bhumi menghampiri ibunya yang sedang duduk menghadap ke arah telepon rumah dan mengamati sebuah foto. Foto itu terlihat lusuh, warnanya yang hampir luntur berpadu dengan warna kecoklatan akibat terkena debu terlalu lama. Dimasukkannya ke dalam laci foto itu ketika tahu Bhumi berdiri tepat di belakang.
"Bunda," ia memanggil ibunya dan sedikit bergetar ketika menatap mata ibunya yang berkaca-kaca.
Bunda Nani hanya menghela napas kemudian menganggukkan kepalanya sekali, ia tersenyum memandangi anaknya. Tidak menyangka, sudah sedewasa itu anak laki-lakinya.
"Lain kali kalau dia telepon bilang saja aku sedang enggak di rumah, atau mungkin enggak perlu dijawab teleponnya."
"Kita kan pakai telepon rumah, ya mana bunda tahu kalau yang menelpon Mala."
"Ya, kan bisa dimatikan teleponnya kalau yang keluar suara Mala, Bunda."
"Sayang," panggilnya lembut sembari berjalan mendekat ke arah Bhumi.
"Satu-satunya wanita yang aku cintai cuma Bunda, enggak ada yang lain," ia bersimpuh di hadapan ibunya, membuat hati wanita itu mencair.
Seketika wanita itu menatap anaknya dalam-dalam, mendadak bingung dengan perubahan anak tunggalnya. Beberapa hari bahkan minggu-minggu yang lalu anaknya masih terlihat seperti hari-hari biasanya, selalu memperlakukan sahabatnya bak seorang Putri, mengabulkan apapun keinginannya dan berusaha membuat gadis itu menjadi gadis yang paling bahagia.
Bhumi membalas menatap wanita itu dalam-dalam. Ia biarkan orang-orang yang berada di ruang tamu menunggunya. Begitu susahnya ia sembunyikan rasa sakitnya, namun itulah yang harus ia lakukan. Membiarkan semua orang tahu ia yang paling jahat, membiarkan semua orang mengira ia sudah tidak peduli. Supaya tidak ada lagi rasa sakit yang tertinggal nantinya, biarlah rasa sakit itu tumbuh sekarang dan dihempas angin nantinya.
"Apa pun yang terjadi dengan dirimu, apa perlu menyakiti orang lain seperti ini?"
Bhumi menundukkan kepalanya, masih diam dan bingung akan menjawab apa.
"Bunda enggak pernah melahirkan seorang anak laki-laki yang pengecut."
Kata-kata itu membuat Bhumi tersentak dan mengangkat wajahnya menghadap ibunya. Benarkah ia seorang pengecut? Benarkah apa yang ia lakukan selama ini hanya menyakiti orang lain?
"Bhumi harus berangkat, Bunda. Jangan lupa istirahat," ia mengecup kening ibunya dan tidak menjawab kalimat ibunya. Lebih memilih untuk menghindari pertanyaan maupun pernyataan yang akan membuatnya menjadi semakin pengecut.
Bunda Nani tersenyum lalu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Membiarkan anaknya memilih jalan hidupnya, bagaimanapun ia telah peringati anaknya akan segala konsekuensi, tetaplah anaknya yang akan menjalani dan apapun yang dipilih anaknya tentu sudah mengerti akan konsekuensi apa yang nantinya akan datang. Ia tidak akan paksa anaknya sekalipun untuk kebaikan bagi dirinya. Anaknyalah yang paling tahu apa yang baik dan harus dilakukan.
Bhumi berjalan menuju motornya. Berhenti sejenak di depan kendaraan yang terparkir di depan rumahnya. Sudah tidak pernah ia kendarai mobil sedan lama yang kata ibunya adalah peninggalan ayahnya. Betapa ia merindukan sosok ayah yang selama ini tidak pernah ia ingan bagaimana bentuk tubuh dan wajahnya. Hanya selembar foto yang dapat ia raba. Ia hanya mampu menerawang jauh ke masa-masa kecilnya yang ia lalui bersama ibunya.
Bhumi kembali memandangi mobilnya. Beberapa minggu yang lalu, ia meminta bantuan Dito untuk membantu menjualkan mobilnya karena ayah Dito tidak lain pemilik dealer mobil bekas. Beberapa orang menawar mobil dengan harga yang bermacam-macam. Mulai dari harga yang menarik sampai yang tidak berperikemanusiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Rahasia
Fiksi RemajaSebuah cerita yang penuh teka-teki belum tentu tidak akan terpecahkan. Dari sini, sesuatu yang rumit bisa menjadi sebuah pelajaran berharga.