(Satu tahun berlalu...)
Pagi-pagi sekali Mala sudah berangkat ke kampus karena ingin menyampaikan sesuatu pada sahabatnya. Setelah dua semester dilalui, kini ia mempunyai dua sahabat yang bahkan hampir setiap hari berangkat bersamanya. Bisa dibilang, dua sahabatnya sudah mengetahui bagaimana kehidupan Mala terlebih masalah percintaannya."La..."
"Hmm?"
"Jadi, sebenarnya kamu pilih siapa?" tanya salah satu sahabatnya, Rana, saat mereka turun dari sebuah bus.
"Kalau aku jadi kamu sih, pasti aku pilih Genta. Selain ganteng dan baik, dia juga dewasa. Paket plus-plus deh pokoknya," sahut Adis.
Mala tidak menjawabnya, ia justru melanjutkan langkahnya masuk ke area kampus. Padahal ia berniat akan menyampaikan sesuatu sesampainya di kampus. Tetapi mendengar Adis berbicara seperti itu, ia jadi tidak bersemangat untuk bercerita.
Saat berada di lorong kampus, mereka bersimpangan dengan Bhumi. Laki-laki itu berjalan lurus ke depan, sesekali menunduk menatap layar telepon genggamnya. Mala mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin saja Bhumi tidak melihatnya, lalu tidak sengaja melewatinya begitu saja. Tidak melihatnya? Sebenarnya mustahil, tetapi apa salahnya berbaik sangka?
"Tuh kan, La. Sepertinya sekarang dia sedang sibuk-sibuknya dengan pacar barunya itu. Jadi, masih mau berharap dengan laki-laki yang hatinya untuk orang lain?" ucap Adis.
Mala hanya diam, pikirannya mulai kacau, ia melangkahkan kakinya menuju kelas sembari berpikir keras.
Rana mencubitnya, "Sudah deh, jangan kompor, Adis!"
"Aduh! Sakit, Ra."
"Ya sudah, jangan suka jadi kompor."
"Ya aku kan bicara soal fakta. Kalau Bhumi memang enggak pantas buat Mala, yang pantas itu Genta. Ah susah memang bicara sama orang yang enggak pernah jatuh cinta."
Rana memutar bola matanya, "Tahu apa soal fakta? Dis, lagipula kita enggak tahu sebenarnya Genta punya perasaan atau enggak sama Mala. Apalagi argumenmu tentang Bhumi itu. Itu enggak banget, Dis!"
"Ah terserahlah," Adis melengos begitu saja, meninggalkan Rana yang masih berdiri di lorong yang berjarak beberapa meter dari kelasnya.
Terkadang, Mala berpikir apa yang dikatakan sahabatnya ada benarnya juga. Namun, terkadang hatinya justru menolak apa yang dikatakan oleh orang lain. Lagi pula, kabar yang beredar itu belum tentu benar. Kalau memang laki-laki itu tengah dekat dengan seseorang apalagi mempunyai kekasih, pasti ia akan menceritakan pada sahabatnya, bukan?
"Mau kemana, La?" tanya Rana saat keluar dari kelas selesai perkuliahan.
"Pulang, kemana lagi?" ia tetap berjalan menyusuri lorong kampus, dua temannya mengikuti dari belakang. Mereka berjalan keluar kampus menuju halte.
Meskipun tahu kulitnya akan terkena debu jalanan juga asap-asap kendaraan, Mala tetap berdiri di halte menunggu kedatangan bus bersama dua sahabatnya. Sepuluh menit menunggu, akhirnya bus tiba. Ia menggandeng sahabatnya untuk naik ke bus. Ia merasakan sahabatnya membalas genggamannya, namun lebih erat.
"Ngapain di sini?" ia menengok ke bawah dari dekat pintu bus, rupanya dua sahabatnya tidak ikut naik bus, mereka justru melambaikan tangannya pada Mala.
Genta hanya membalas pertanyaan Mala dengan senyum sembari membenarkan lipatan lengan kemeja putihnya. Penampilannya memang lebih rapi dibanding Bhumi yang bisa dibilang lebih swag. Ia lebih sering mengenakan kemeja polos yang dilipat lengannya hingga siku. Sesekali mengenakan dalaman kaos hitam polos lalu dibalut dengan jaket jeans, meskipun hanya beberapa kali dalam sebulan dan bisa dihitung jari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Rahasia
Teen FictionSebuah cerita yang penuh teka-teki belum tentu tidak akan terpecahkan. Dari sini, sesuatu yang rumit bisa menjadi sebuah pelajaran berharga.