Latihanku adalah beban yang musti kutanggung. Seperti nasib, tulisanku adalah kesunyian masing-masing.
Suatu hari yang cerah, di awal bulan Maret ia datang kepadaku untuk belajar mengolah kata, membangun aksara. Datang dengan antusias menggebu-gebu, tak pernah lagi kemudian selama berbulan-bulan kujumpai orang seperti dia. Masih teringat jelas dalam memori tatkala ia kerap datang ke rumahku dengan membawa makanan ringan. Entah, saat itu sering kupikirkan.
Tapi saat itu yang kutahu matanya tak pernah sekali pun berhenti membelalak saat melihat lemari bukuku.
"Boleh saya pinta salah satu buku anda?" kuterkejut suatu hari ia bertanya.
"Dengan senang hati," jawabku.
Kusodorkan satu yang menurutku terbaik dari bacaan koleksi penulis besar, Amerika Latin.
"Bukan! Bukan! Bukan itu yang kumaksud!" Justru ia menolak. "Yang kupinta adalah karya Anda! Hasil jerih payah menulis Anda!"
Sejenak aku kehilangan kesadaran. Mengawang di atas kepala, ingin mengucapkan sesuatu tapi tertahan. Sembari melihat ke arah lain, aku membeku dan mematung di hadapannya. Untunglah aku lekas sadar tapi masih dalam kondisi entah apa yang harus kukatakan. Akhirnya sesuatu terlontar ringan keluar dari mulutku, "Maaf. Saya belum memiliki karya sama sekali." Tentu sembari menundukkan wajah dan menyulam bibirku.
"Mana mungkin!" Terhenyak aku. Kata-katanya bertendensi mencurigai dan menekanku.
"Mustahil buku-buku bertumpuk ini tak mengilhami seseorang menulis dan menghasilkan karya!"
Aku melihat dahinya mengerut.
Hening mencekam malam itu. Agak terlambat, tapi aku membalas ucapannya.
"Mempunyai banyak buku adalah satu hal; dan menulis, adalah perkara lain."
"Senor, maaf sedikit lancang. Aku tidak butuh karya penulis terkenal yang telah melambung namanya, yang hendak (bukunya) kau berikan padaku itu." Ia kuat memerhatikanku. "Yang aku butuh sekarang adalah penulis yang bernafas. Seseorang yang melimpah buku, di mana aku bisa merasakan tulisan tangan bergerak, sekaligus melihat rupa-hangat-kehidupan sosok penulis langsung di hadapanku."
"Kau mustinya bersiap kecewa. Kau datang ke tempat yang salah. Aku hanya memiliki buku. Tak ada karya tulis. Tak ada."
"Tidakkah kau punya keinginan ke arah sana Senor, untuk menulis?"
"Aku sempat punya niatan itu. Tapi tak yakin apakah aku punya passion dalam dunia itu."
"Aku yakin Senor, kau dan dengan buku yang menggunung ini dapat berhasil. Aku sungguh optimis."
Itu kata-kata terakhir yang kuingat dari orang yang amat antusias menyuruhku menulis. Namun, anehnya, suatu ketika jauh dari hari-hari itu ia akan belajar denganku. Ia lah orang antusias itu.
Tapi sebelum itu, ia berkata padaku. "Kau memang mempunyai bakat, Senor. Aku yakin itu. Namun ingat tulisanmu suatu kelak akan menjadi kesunyian masing-masing dari kegelisahanmu yang akan tiap hari (selalu) berganti. Begitu tiap kali. Kau memang akan dengan mudah mengabadikan persoalan dalam kata-kata. Namun, tiap waktu akan selalu berbeda. Pandanganmu akan selalu berubah. Jika kau hendak menulis karena menunggu pengetahuanmu menumpuk, dan kau pikir pengetahuan itu akan saling merangkai ibarat puzzle suatu hari kelak, ingatlah bahwa itu adalah ilusi. Jika kau hendak mengandalkan persepsi semacam itu, percayalah selamanya kau takkan menulis."
Kata-katanya sangat mendalam bagiku, dan ya sekarang kurasakan.
"Tulisanku adalah kusunyian masing-masing dari tiap peristiwa".
Griya, Cileungsi, 24 Nopember 2018

KAMU SEDANG MEMBACA
KEMALANGAN YANG LUCKY
Historia CortaMenulis adalah gagasan yang dekat dengan bunuh diri. ___ Keperkasaan tiada berbalas dengan pekerti. Sopan santun tiada berperi dalam arti. Hidup menanggung beban masa lalu. Kecemasan masa depan. Langit berpijar serupa angsa. Putih bagaikan surga. ...