12

41 4 0
                                    

"Sudahkah kau belajar memaafkan dirimu sendiri? Dan berdamai dengan masa lalumu? Let's forgive and forget, then moving on..." 

.

.

.

Tiga bulan kemudian.

Hari ini adalah perpisahan kelas dua belas.

Sebuah panggung mini dihias dengan hiasan yang sesuai tema perpisahan tahun ini. Dua orang MC tengah berbasa-basi sebelum memanggil bintang tamu yang akan tampil setelah ini.

Leo duduk bersama siswa laki-laki kelasnya di deretan kursi belakang. Leo tidak terlalu memperhatikan bintang tamu yang dipanggil. Dia tengah mendengarkan cerita banyolan Yoga yang duduk di sebelahnya.

Dia menoleh ke arah panggung saat dia mendengar musik intro dimainkan dengan petikan gitar. Dia ingin tahu siapa yang ada di panggung sekarang.

"When I was younger I saw...."

Leo terdiam mendengarnya. Dia tidak tahu siapa yang berada di atas panggung sana. Perempuan yang mengenakan hody yang menutupi kepalanya yang bertutup kerudung. Dia juga mengenakan kacamata hitam yang membuat wajahnya semakin sulit dikenali.

Petikan gitar solo yang dimainkan gadis itu mengalun ketika intro lagu tersebut dimainkan. Disusul dengan iringan musik yang dimainkan oleh beberapa laki-laki tidak kenalnya. Namun, satu yang terlihat familiar. Laki-laki yang memainkan gitar disebelah gadis misterius itu. Dia seperti pernah melihatnya entah di mana.

Dia kembali memperhatikan siswi misterius yang tengah bernyanyi di sana.

'Suara itu,' batin Leo. Dia terhanyut mendengarkan lagu yang dinyanyikan gadis itu. Dia menerka-nerka siapa sebenarnya gadis itu karena dia merasa sangat familiar dengan suaranya.

Hingga mata Leo membulat tidak percaya. Dia akhirnya tahu suara itu. Suara yang selalu terngiang-ngiang di benaknya. Suara yang sudah sangat dia hapal.

"Tiwi...." bisik Leo tidak percaya. Dia pernah mendengar gadis itu bernyanyi waktu istirahat syuting pembuatan projek film pendek kelompok mereka.

"And that was the day that I promise I never sing of love, it does not exist."

'I never sing of love, it does not exist,' Leo membatin cuplikan lagu itu.

Sebuah realita menghantamnya. Pikirannya sekarang mulai berkecambuk. Di benaknya, dia mulai mengaitkan kejadian-kejadian itu dengan lagu yang sedang gadis itu nyanyikan. Hingga ingatannya kembali pada saat itu. Saat Tiwi menolak pernyataannya dengan dingin.

"I don't want fall in to the same hole again...." lanjut Tiwi dengan dingin. "I won't to feel that hurt anymore. Stop messing me around."

Ingatannya kembali berputar. Leo ingat Tiwi pernah berkata sesuatu padanya. Sesuatu yang membuat kebekuan dalam diri Tiwi. Alasan yang membuatnya dulu begitu membenci sikap Leo. Tidak hanya dia tetapi laki-laki lain. Dia ingat sikap Tiwi yang begitu dingin dan judes kepada laki-laki selain keluarganya. Bahkan kepada Alim dan Ali―yang dia tahu merupakan laki-laki baik―yang merupakan teman sekelasnya selama tiga tahun, Tiwi hanya berbicara seperlunya atau menjaga jarak. Alasan yang membuat Tiwi menjadi sosok yang dingin. Alasan yang membuat Tiwi menutup dirinya rapat-rapat. Serta Alasan yang membuat Tiwi membentengi dirinya dengan keyakinan bahwa tidak akan ada orang yang benar-benar tulus mencintainya kecuali orang tuanya.

"Love is bullshit, except from God."

Leo menatap gadis yang ada di atas panggung itu dengan sendu. Trauma itu telah membuat gadis yang disayanginya membekukan hati dan mengunci dirinya rapat-rapat. Kenyataan pahit yang membuat gadis itu berkeyakinan bahwa cinta itu hanyalah omong kosong. Peristiwa yang merenggut kepercayaannya mengenai cinta.

Except You [Completed]Where stories live. Discover now