Pagi ini cukup cerah. Secerah burung-burung bernyanyi, secerah istri yang mengantarkan tas kerja sampai depan rumah pada sang suami, secerah bayi-bayi mungil yang bangun dengan senyum manis di pagi hari, dan secerah wajah Milly yang santai-santai saja dengan keterlambatannya— yang kurang lebih, mencapai 30 menit di hari ini.
Sungguh santai sekali...
Ya, 30 menit, Milly sudah— atau bisa dibilang baru saja sampai di depan gerbang sekolah. Bernyanyi-nyanyi, senandung ria dalam perjalanannya tadi. Tanpa ada rasa resah atau pun takut jika akan dihukum nanti.
Untungnya saja, tadi jalanan sedikit lenggang dan tidak macet. Jadi Mang Pandi masih bisa melajukan motornya dengan menambahkan kecepatan. Dan tak lupa juga, untuk ikut bersenandung di dalam hati, mengikuti apa yang dinyanyikan oleh si anak majikannya itu.
"Sudah sampai, Non." Milly turun dan menyerahkan helm yang dipakainya kepada Mang Pandi.
"Duh, Mang. Untung aja Milly pake helm. Kalo enggak, lumayan berantakan ini rambut!" rengek Milly dengan suara cemprengnya.
"Hehe ... Maaf, Non. Habis, Mang Pandi takut Non Milly telat, sih. Jadi berasa jadi Valentino Rossi. Ngebut sana, ngebut sini." Mang Pandi menyengir sambil meragakan bagaimana ia mengebut tadi.
Milly melirik ke arah gerbang sekolah. Dan melihat cowok yang sangat ia kenal, Juna. Sedang berusaha membujuk satpam untuk bisa masuk ke sekolah.
Menyedihkan!
"Emang udah telat sih, Mang. Tuh lihat!" ujar Milly menunjuk ke arah gerbang.
"Waduh! Iya, Non. Den Juna 'kan itu? Nanti Non Milly nggak boleh masuk, terus dihukum juga. Gimana, Non?!" seru Mang Pandi yang khawatir pada anak majikannya.
"Selow, Mang." Milly menenangkan Mang Pandi agar lelaki tua itu tidak mengkhawatirkannya.
"Nggak usah khawatir gitu. Ya udah, Mang Pandi mending pulang aja deh. Makasih Mang Pandi!" kata Milly tersenyum meyakinkan dan menyalami tangan Mang Pandi, seperti yang ia lakukan ke Mbok Diah sebelumnya.
"Non Milly nggak apa-apa, nih?" Mang Pandi masih terlihat khawatir. Walau sebenarnya, dia sering mengantarkan Milly ke sekolah, dengan keadaan telat.
"Enggak apa-apa, Mang."
Setelah Mang Pandi pergi, Milly melangkah menuju gerbang sekolahnya. Tepatnya ke arah Juna dan pak satpam.
"Pak, saya mau masuk. Bapak dosa loh enggak bolehin orang mau belajar," ucap Juna yang masih berusaha untuk masuk ke gerbang.
"Pagi, Pak Warjoo!!" sapa Milly yang datang tiba-tiba, pada satpam berkumis tebal itu.
"Ehh, Neng Milly. Pagi juga, Neng," jawab Pak Warjo yang dari tadi masih menghalangi Juna masuk.
"Kesiangan, Neng?" tanyanya lagi pada gadis bermata bulat dengan lesung pipit di pipi kirinya itu.
"Hehe ... Iya, Pak." Milly melirik ke arah Juna. Lalu mulai memakai jurus andalannya. Milly memasang wajah melas yang sangat menggemaskan bagi setiap orang yang melihatnya.
Lagu lama. Mulai lagi. Batin Juna.
Juna yang melihat itu memutarkan bola matanya malas. Walaupun sebenarnya dia sangat ingin mencubit pipi Milly yang terlihat agak chubby itu. Menggemaskan.
"Pak Warjo, Milly boleh masuk enggak??" tanya Milly yang menunjukkan puppy eyes-nya.
"Oh. Tentu boleh lah, Neng. 'Kan Neng Milly ke sekolah untuk belajar," sahut Pak Warjo dengan menunjukkan giginya yang agak tertutup kumis tebal itu. Lalu mempersilahkan Milly masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Willy and Milly
Ficção AdolescenteEmilly Husenia Putri, ia adalah gadis yang periang dan bisa dibilang hiperaktif. Dia cantik, namun belum pernah ia berpacaran. Emilly belum pernah merasakan jatuh cinta pada siapa pun. Bahkan, pada sahabatnya sendiri, yang selalu ada di sampingnya...